Ilustrator
: Alexong*
“Barangkali tidak ada
yang lebih menyakitkan dari pada sepasang kekasih yang berpisah di Pelabuhan Ketapang
dalam keadaan saling mencintai.”
Begitulah kalimat yang
aku susun berdasarkan bahan bacaan yang telah lalu, setiap tempat barangkali
mempunyai kenangan tersendiri bagi setiap orang. Begitupun dengan Pelabuhan
Ketapang, angin mendesis, ombak yang menghempas bibir pelabuhan, kapal yang
bersandar,kesibukan lalu lalang atau bongkar muat barang, dan barangkali seseorang
tengah merayakan perpisahan di atas kapal sambil melihat pada Pelabuhan Ketapang
yang semakin kabur dari pandangan seiring kapal bergerak menuju Pelabuhan
Gilimanuk.
Aku menjepit sebatang
rokok pada sudut bibir lalu menyalakannya, menghisap perlahan lalu melepasnya
perlahan, padahal sudah barang tentu merokok di tengah keramaian merupakan hal
yang dilarang demi kenyamanan bersama, tapi apa peduli tentang peraturan
remeh-temeh semacam itu jika peraturan dan hukum terkadang menjadi alat bagi
mereka yang berkepentingan, tapi tidak dengan peraturan Dilarang Merokok,
itu baik.
Kembali lagi pada tulisan
yang tak layak disebut sebagai catatan perjalanan ini, aku sebenarnya bingung
saat salah satu personel Cakanca.id bicara begini dalam telfon, “Mas, buat
catatan perjalanan dong, Mas kan lagi ke Bali.” Jadi aku mengiyakan saja
permintaan Cakanca (teman-teman), padahal aku sendiri sudah ennek dengan perjalanan
duduk di atas kursi malas pada sebuah kapal yang perlahan menyeberangi Selat Bali
hingga sampai pada Pelabuhan Gilimanuk.
Barangkali tidak ada
yang spesial bagiku di tempat ini kecuali hari dimana saat pertama kali
berangkat untuk menuruskan pendidikan di salah satu kampus di Singaraja,
sebenarnya perlu dimaklumi karena sudah pasti saat itu sedang
semangat-semangatnya. Ya, sekarang mungkin sudah tidak begitu, barangkali
seiring bertambahnya umur, keinginan atau cita-cita makin bergeser bersama
tingkat kedewasaan yang semakin bertambah, tapi belum tentu bisa dibilang sudah
dewasa.
Aku tiba di Pelabuhan
Ketapang saat jarum jam tepat pukul empat lewat beberapa menit, karena sudah
sekitar enam bulan aku tidak melihat Pelabuhan Ketapang, rada-rada seperti
rindu yang harus di bayar tuntas,begitupun dengan rindu akan Pelabuhan Ketapang,
walau pelabuhan terlihat agak sepi karena batasan penumpang saat pandemi Covid-19
belum lagi tamat. Seperti biasa, di atas kapal aku mendengar lagu Yesterdaysambil
merokok untuk menghibur diri dari kejenuhan lamanya kapal menyebrangi Selat Bali.
Yesterday
all my troubles seemed so far away
Now it looks as though
they`re here to stay
Oh I believe in yesterday.
Terlihat beberapa
penumpang dengan berbagai macam mimik muka, dari yang ceria, senang, lesu,
hingga seseorang yang tidur dengan mulut terbuka yang membuatku berpikir
bagaimana sekiranya aku masukkan batu bata ke sana. Aku sengaja memilih untuk
duduk di dek bagian atas tanpa atap, alasannya karena aku paling suka merokok
sembari melihat warna air laut yang membiru dengan gelombang-gelombang kecil
yang menghempas lambung kapal, juga terpaan angin yang terasa dingin di bulan
Oktober menambah suasana yang semakin sentimentil, tapi apa peduli penumpang
lain dengan suasana semacam itu, kebanyakan dari mereka kecuali yang tengah
berlibur akan menghabiskan waktu beristirahat di kapal hingga kapal bersandar.
Nah, pada bagian ini
barangkali benar-benar tidak layak di baca oleh pembaca yang budiman karena aku
sendiri sudah pusing menyusun dan merangkai kata sedari kapal ini berlabuh, dan
sebentar lagi kapal akan bersandar, jadi tidak mungkin aku tidak menghentikan
tulisan ini. Tapi aku harus berkata ada sepenggal kenangan di tempat ini yang
tak dapat aku ceritakan di sini.
“Para penumpang kapal
mohon bersiap, karena sebentar lagi kapal akan bersandar, dan berhati-hatilah
di jalan, karena setiap Kilometer di Pulau Bali rawan kenangan!”
Selat Bali, 28 Oktober
2020.
Alexong, lahir di
Situbondo, 09 September 1999. Kini menetap di mana saja, sedang aktif menulis
dan membuat ilustrasi. seorang pelukis kenangan.
0 Komentar