Ilustrator : Permata Kamila* |
Oleh : Wilda Zakiyah
HARI MINGGU lebih
nikmat dihabiskan untuk tidur, menonton televisi, chatingan dengan si Doi, atau
hanya mengukur jalanan Situbondo seperti yang saya lakukan. Demi sebuah
inspirasi menulis. Jalan dengan Ulfa Maulana, teman satu komunitas perempuan
dan sekaligus cerpenis muda. Kami menghabiskan waktu di sepanjang jalan dari
kecamatan Kapongan sampai alun-alun kota Situbondo. Melawan matahari yang
panasnya berhasil membuat kulit saya seperti zebra, belang-belang.
Siang hari yang panas dengan perut
yang keroncongan, seolah bersorak untuk menghentikan perjalanan kami di tempat
makan yang dulunya warung makan biasa, sekarang serasa seperti cafe dan
restoran, di warung makan pak Niti. Kami makan mie yang ukurannya besar seperti
jari kelingking saya. Bumbunya sedikit aneh di lidah tapi akhirnya kandas juga.
Awalnya berpikir untuk ditambahkan kecap manis, tapi karena warna bumbu mie tersebut
sudah agak kehitaman saya urungkan. Takut terasa semakin aneh saja. Panasnya
masih mengepulkan asap, kobessa di lidah. Apalagi minumnya pakai es Josua
(ekstrajoss dan susu asli), wuih maknyus. Lokasi warung makan pak Niti tepat di
sebelah selatan terminal Situbondo. Saya rasa setelah kenyang, inspirasi akan
datang. Ternyata saya salah, setelah kenyang saya malah semakin buntu. Ambyar
sudah.
Kami memutuskan ke perpustakaan
daerah. Letaknya sebelah selatan alun-alun kota Situbondo, tepat di sebelah barat
pendopo bupati. Berjam-jam kami di sana. Mencari-cari buku yang enak dan renyak
dibaca. Sayangnya perpustakaan kurang update buku-buku baru dan menarik. Kami
menyisir rak demi rak buku, yang saya temui hanya buku-buku lama dan sudah
hatam saya baca. Akhirnya Ulfa, teman saya, mengambil buku dengan judul “Si
Anak Spesial” karya Tere-Liye. Sedang saya bingung, buku apa yang masih cukup
menarik dan belum saya baca. Akhirnya saya menemukan buku “Emile Zola.”
Tapi malah yang saya baca adalah
salah satu buku karya Josip Novakovich “Berguru Pada Sastrawan Dunia”, Dia
adalah penulis fiksi kelahiran Kroasia. Meraih sejumlah penghargaan penulisan
fiksi di Amerika Serikat. Kebetulan sekali saya mencari inspirasi untuk menulis
fiksi. Ada banyak hal yang saya dapat dari buku tersebut. Novakovich mengutip
E.L.Doctorow dalam bukunya “pengarang novel adalah orang yang dapat
menjalani kehidupan orang lain.” Kutipan tersebut membuat saya sadar
bahwa menulis fiksi ternyata bisa membuat saya merasakan menjadi orang lain, menjalani
cerita hidup seperti orang lain. Dari hal tersebut saya berpikir untuk
mengamati orang lain dan mencoba memahami bagaimana orang tersebut menjalani
hidupnya.
Kadang inspirasi itu datang tidak
hanya dari pengalaman saja, katanya, membaca dan mengamati sesuatu juga menjadi
salah satunya. Atau kalian cukup berjalan mengelilingi desa atau kota kalian
untuk menemukan sebuah inspirasi menulis.
Atau, kalian boleh menulis ulang
sebuah cerita yang sudah dituliskan dan selesai. Kalian boleh mengubah tokoh dan
ending cerita. Seperti cerita Cinderella, bagaimana kalau ternyata sepatu
kacanya pas di kaki ibu tirinya? Atau cerita Malin Kundang, misalnya. Kalian
menulis ending yang pada suatu hari Malin Kundang merindukan ibunya dan pulang
ke kampung halaman, lalu ternyata ibunya tidak mengakui Malin Kundang sebagai
anaknya, ibunya mengusir Malin Kundang, sang ibu durhaka. Coba saja endingnya
dibalik demikian. Dengan nama tokoh yang berbeda. Ilmu itu saya dapat dari
penuturan Helvy Tiana Rosa, pemimpin komunitas Forum Lingkar Pena (FLP).
Setelah saya melihat jam di
pergelangan tangan saya, jam sudah menunjukkan pukul 14.26. 34 menit lagi
perpustakaan akan tutup. Membaca membuat saya suka lupa waktu. Kami memutuskan
pergi sebelum tempat itu tutup. Bayangkan kalau saya berdua terkunci di ruang
perpustakaan sampai malam, lalu ditemui oleh hantu tampan seperti tentara
belanda jaman dulu, mengingat bangunan perpustakaan adalah peninggalan masa
Belanda. Bisa-bisa saya kerasan di perpustakaan itu. Lalu saya dan Ulfa Menuju alun-alun
di sebelah utara perpustakaan daerah. Duduk santai di Pujasera. Sesantai saya
mencintai dia, atau sesantai saya menyeruput es cokelat dingin untuk
menetralkan cuaca yang panas khas kota Situbondo. Rileks.
Bercinta di hari minggu tidak
selamanya dijamin menyenangkan. Bayangkan saja kalau saya ternyata tidak
bersama Ulfa, apakah saya akan pergi ke perpustakaan? Pasti saya akan memilih
ke pantai atau ke tempat wisata (yang gagal) di Situbondo bersama si Doi.
Membicarakan betapa cinta itu sungguh omong kosong, kalimat rindu omong kosong,
janji-janji omong kosong, pertemuan menyenangkan yang omong kosong, atau betapa
cinta itu amat omong kosong. Sesekali mengutip puisi Rosie Jibril “Cintaku
padamu belum ada contohnya”, dan semua itu hanya sekedar omong kosong.
Dimana kita temukan saat-saat
bercinta paling romantis kalau bukan dalam cerita fiksi? Paling-paling hanya
kenangan yang terus ditasbihkan dan dirapalkan seolah itu kisah terindah.
Seperti anak takanta.id yang sampai sekarang masih tetap terjebak di dalam
kenangan. Sejatinya, yang berlalu dan tak bisa dilakukan kembali adalah keomong
kosongan hakiki~
Tepat pukul empat, kami geser lokasi
ke pendopo alun-alun. Di samping pendopo ada beberapa anak kecil dan remaja
sedang berkumpul. Memegang alat musik yang suaranya membuat saya mengingat
seluruh kisah cinta yang luka. Berhasil membuat imajinasi saya menyeruak.
“Bagaimana kalau saya menuliskan cerita dengan judul Perempuan pemain biola,
atau perempuan yang mati dipukul biola oleh pacarnya?”, sepertinya menarik.
Aves Wahyu, yang saya tahu adalah
musisi dan ketua komunitas biola yang karib dikenal Sivic. Terlihat mas Aves
sedang membimbing mereka berlatih. Dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda
teknik memainkannya untuk menghasilkan bunyi biola yang beragam. Mas Ves tidak
sendirian, dia ditemani beberapa temannya yang satu komunitas. Mendengarkan
suara musik yang merdu itu membuat saya betah berlama-lama.
Angin sore semakin membuai, sepoi
menyapa rumput-rumput hijau di lapangan alun-alun. Menggelitik kaki anak-anak
yang asyik masyuk bermain sepak bola. Waktunya kami pulang. Perempuan kota kami
dilarang pulang di atas jam lima sore. Dan sialnya para orang tua tidak
menerima alasan pulang terlambat seperti apapun, meski ada acara komunitas dan
literasi. Adat Situbondo masih sangat kental, apa lagi menyangkut perempuan.
Sudah ‘kalakna/kareppa’ kalau kata warga sekitar. Seperti tidak bisa
diganggu gugat. Dan masih terus berlaku untuk generasi turun-temurun
selanjutnya. Para orang tua terus menjaga hal tersebut meski pada masa ini
perempuan dan laki-laki itu tak ada bedanya. Suara emansipasi wanita dan
gerakan feminisme tidak berlaku di kota kami. Orang tua lebih percaya bahwa
anak perempuannya harus dijaga dengan baik, tidak boleh kemana-mana, atau
tetangga akan menggosipinya sebagai anak nakal yang tidak tahu aturan.
Akhirnya kami pulang. Di rumah
sempit, saya berpikir apa yang harus ditulis. Dan akhirnya saya memilih menulis
perjalanan ini. Juga surat cinta yang sama omong kosongnya seperti isinya~
Biodata
Wilda Zakiyah, perempuan situbondo
dan pegiat literasi. Selain menulis esai, dia juga menulis cerita pendek dan
puisi. Dan menulis kenangan, tentunya.
0 Komentar