Oleh: Gaharu*
Jurnal harianku di
Bulan November akan terasa berbeda. Iya, sangat berbeda. Bukan hanya tentang
patah hati dan memendam rasa lagi. Ini lebih daripada hall umrah yang kerap
dirasakan remaja normal sepertiku. Iya, anggap saja aku normal.
Aku lebih suka
memandang suatu hal dari perspektif yang berbeda dari kebanyakan orang. Terkadang
cenderung memperhatikan hal-hal yang sangat detail, mungkin saja itu dianggap
remeh oleh orang lain. Ada banyak hal yang aku pikirkan dan orang-orang selalu
menganggapku overthinking. Memang sih, hanya saja sudah menjadi
kebiasaan sejak kecil untuk memikirkan suatu hal yang berbeda. Aku kecil
menganggapnya inovasi, tapi sekarang malah jadi penyebab depresi, heheh.
Lalu, relasinya dengan
patah hati, apa? Ya, seperti ini. banyak orang yang saat patah hati langsung
menganggap dunia kiamat. Ada pula yang sampai bunuh diri dan melupakan sanak
saudara. Bahkan ada yang rela menggadaikan kehormatannya demi mengemis rasa
yang sebenarnya telah tiada. Ironis, bukan? Jujur saja, sebagai seorang
perempuan yang pernah tersakiti, aku paham betul rasanya patah hati. Memang
sesak, kehilangan harapan, dan sebagainya. Hanya saja semua itu percuma kalau
dilakukan dalam jangka waktu Panjang. Sia-sia, rek.
Sakit loh, benar.
Tapi, kalau terus-terusan di zona ini ya bakal hancur juga. Maka dari itu aku
bangkit, aku maju lagi dan berusaha menganggap rasa sakit itu sebagai pecut
dalam kehidupanku. Karena percuma sih kalau mengemis rasa sama doi yang sudah
tak ada rasa. Harga diri sebagai perempuan loh dipertaruhkan, rek.
Jangan mau dipermainkan, jangan mau diinjak-injak terus perasaan ini. kalau
memang sakit, lebih baik lepaskan. Sudah, relakan saja dia pergi. Toh,
tak akan adil juga bila mencegahnya pergi sementara dia tak merasa bahagia di
sini. Lebih baik mengalah dan sadar diri. Mengalah bukan berarti kalah.
Terkadang mengalah adalah bukti cinta luar biasa yang mungkin tak bisa dipahami
semua manusia. Selayaknya cinta Tuhan pada makhluk-Nya, sedikit sekali yang
benar-benar menyadarinya.
Aku menulis ini
sebagai bentuk reminder untuk diriku. Sebagai seorang
perempuan, tak seharusnya perkara patah hati menjadi momok besar dalam
kehidupan. Masih banyak hal yang perlu dikejar, apalagi jika masih pelajar.
Mimpi besar harus tercapai, jangan main cinta dulu, tapi belajar yang benar.
Ah, aku tertampar oleh ucapanku sendiri. Ya, ada banyak hal yang perlu
dibenahi. Perkara hati harus lebih dirapikan lagi, agar Tuhan senantiasa
berseri, agar Rasulullah senantiasa menanti, haruslah kita jaga rasa ini tetap
suci. Perbaiki perilaku dan sikap karena kunci hidup di masyarakat masih
dipegang oleh indahnya akhlak. Maka dari itu, fase patah hati ini sebaiknya
dimaksimalkan untuk memperindah hati dan menajamkan pola piker. Bukannya
meratapi nasib karena cinta yang berakhir begitu saja. Jodoh sudah diatur,
pasti dapat yang terbaik, kok, tenang saja.
September dan Oktober,
aku ucapkan terimakasih atas pengalaman membuka hati dan patah kesekian kali.
Karena kalian aku bisa melaju pada November yang kuharap akan berseri. Karena
hati ini pelan-pelan mengikhlaskannya pergi. Dengan agenda memperbaiki hati agar
lebih baik lagi.
Situbondo, 06 November
2020
-Gaharu-
*Penulis adalah seorang perempuan yang baru saja mengalami kisah usai sebelum terjadi.
0 Komentar