Ilustrator : Permata Kamila* |
Oleh: Wulan
Nur Aisyah*
Suara adzan menggema.
Jiwa yang semula berkeliaran mulai kembali pada raganya. Mata yang semula
menutup, perlahan mulai terbuka. Pagi datang, menyapa setiap insan. Kaki perlahan
digerakkan untuk menjalani kewajiban. Tak lupa, sebelumnya ia sudah berwudhu
untuk menyempurnakan syarat sah shalatnya.
Dia Eka, begitulah
orang-orang memanggilnya. Sesosok perempuan dengan jilbab yang melekat sempurna
di kepalanya. Setelah menyelesaikan kewajibannya sebagai muslimah, ia langsung
menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Dia tinggal sendiri di sebuah
kontrakan sederhana milik kakeknya. Dia bukan seorang karyawan yang terpaksa
jauh dari orang tua demi pekerjaannya. Dia juga bukan anak kuliah yang jauh
dari pengawasan orang tua demi melanjutnya sekolahnya. Tapi, dia adalah anak
SMA yang jauh dari orang tua nya demi bersekolah di sekolah impiannya.
Setelah semua
pekerjaan rumah selesai, dia langsung pergi berangkat ke sekolah dengan menggunakan
sepeda motor. Tak lupa, ia mampir kerumah temannya dulu untuk menjemputnya.
Rumahnya tak jauh dari kontrakan Eka. Mereka selalu berangkat bersama setiap
harinya.
"Assalamualaikum."
Puluhan pasang mata menatap Eka, mereka tersenyum, lalu, "waalaikumussalam."
Suara sahutan jawaban salam menggema dikelas XI MIPA 2.
Eka dan temannya yang
di ketahui bernama Ega mulai menempati tempat duduknya. Tiba-tiba, seorang
siswi kelas sebelah masuk tanpa mengucap salam, dan... dia menarik tangan Egi,
membawanya keluar dan setelah itu tidak tau akan pergi kemana mereka.
Eka tidak mau
mengikuti kemana mereka pergi, mungkin saja mereka akan membicarakan sesuatu
yang privasi. Sembari menunggu, Eka membuka buku novel yang baru saja ia beli
Minggu kemarin. Membaca tiap halaman per halaman.
Egi mulai masuk kelas
kembali, bedanya dia sendiri. Tak bersama seorang siswi yang menggandengnya
tadi. Eka menutup bukunya, meletakkannya di dalam kolong meja. Ia menoleh
bangku di dekatnya, kosong. Padahal harusnya Egi sudah duduk di bangkunya itu.
Wajah Eka menjalari seisi kelas, mencari temannya yang ntah kemana. Eka
menemukan keberadaan Egi, dia di pojok belakang, sendirian. Tapi
mengapa?
Terlintas di pikiran
Eka untuk menghampirinya, tapi ia urungkan karena guru pengajar telah memasuki
kelasnya. Mengucapkan salam, membuka buku pelajaran, dan mulai menerangkan
materi.
Bel sudah berbunyi,
semua siswa berhamburan keluar kelas. Eka meneruskan tekadnya untuk mendatangi
Egi. "Gi," tak ada jawaban.
"Egi, kamu
kenapa?" Lagi lagi Egi tak menjawab, memilih mencorat-coret bukunya untuk
mengalihkan Eka.
"Aku bicara sama
kamu Gi, kamu kenapa? Aku ada salah ya?" Tetap seperti sebelumnya. Eka
menghela napas panjang lalu menghembuskannya kembali.
"Kalau aku salah,
aku minta maaf, Gi, tapi salahku apa?" Alih-alih menjawab, Egi malah
beranjak dari bangkunya dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata.
Tak tahu lagi apa yang
harus diperbuat Eka, mengejarnya atau mendiamkannya dulu. Eka duduk kembali di
tempat duduknya, niatnya untuk pergi ke kantin ia urungkan terlebih dahulu.
Setelah menghabiskan
satu buku bacaan, ia beranjak untuk pergi ke perpustakaan. "Egi,"
kakinya ia langkahkan ke bangku pojok perpustakaan ini. Terlihat Egi yang
meletakkan kepalanya di kedua tumpuan tangan. Eka mencoba menghampirinya.
"Aku anak yang
tidak berguna?" Eka kaget dengan pertanyaan aneh dari Egi. Ingin merespon
pertanyaannya, tapi tidak tahu dengan kata apa.
"Aku anak pembawa
sial?" Lagi lagi Eka bingung. Apa yang terjadi dengan Egi?
"Jawab, Ka!
jawab!" Nada suara Egi mulai meninggi, mau tak mau Eka harus menjawab.
"Kamu pembawa keberuntungan. Tidak ada orang pembawa sial, sayang."
"Jangan bohong,
Ka, kamu bohong, aku benci kamu."
Eka menangkup wajah
Egi, "Yang bohong itu orang yang bilang kamu pembawa sial, bukan aku."
"Kamu kenapa
sampai menyebut dirimu pembawa sial, sayang?" Lanjutnya.
"Hiks hiks,
Rara bilang aku pembawa sial. Ibuku meninggal gara-gara aku. Aku penyebab ibuku
meninggal."
Eka mengerti sekarang,
"kamu percaya tuhan itu ada?"
"Kamu bicara apa,
Ka? Jelas Tuhan ada, jangan bicara mengada ada kamu, Ka."
"Kalau kamu
percaya Tuhan ada, kenapa kamu lebih percaya perkataan Rara? Kenapa kamu tidak
percaya takdir Tuhan?"
"Maksudnya?"
"Jodoh dan maut
sudah ditentukan sama Allah, Gi, percuma kamu menyalahkan diri kamu, percuma.
Takdir Allah tidak bisa dirubah."
"Tapi, Ka, andai
waktu itu aku tidak pulang terlambat mungkin ibuku masih ada sampai sekarang."
Eka tersenyum,
"dengerin aku ya, Gi, semua itu murni kecelakaan. Kamu tidak salah, takdir
Allah juga tidak pernah salah. Mungkin dengan peristiwa ini Allah mau
menjadikan kamu lebih kuat dari sebelumnya, lebih tabah dalam menghadapi
masalah."
Perlahan Egi mengerti.
Tangisnya mulai mereda. Ia memeluk Eka dengan sangat erat. Menyalurkan rasa
terimakasih kepadanya. Ia sadar, kecelakaan itu sudah garis Tuhan untuk ibunya.
Peristiwa itu bermula ketika Egi ada rapat kegiatan OSIS. Ia lupa mengabari
ibunya sampai-sampai ibunya menunggu sangat lama diluar gerbang. Disaat rapat
berlangsung, tiba-tiba ada satpam sekolah terburu-buru masuk kedalam ruang
rapat dan memberi tahuku tentang kondisi ibu yang tertabrak sepeda motor.
Menurut penyelidikan polisi, sepeda motor itu sedang mabuk hingga akhirnya
tidak bisa menjaga keseimbangan dan menabrak ibu. Sesegera mungkin ibu
dilarikan ke rumah sakit. Tapi di tengah perjalanan Tuhan berkata lain. Ibu
meninggal sebelum sempat dirawat di rumah sakit.
Disitu Egi menangis
tidak karuan. Mencoba mengguncang guncangkan tubuh ibunya. Tapi ternyata Tuhan
sangat sayang kepada ibunya. Tuhan tidak mau ibunya mengalami sakit yang
terlalu lama.
"Jangan sedih
lagi ya, kamu tidak boleh patah semangat. Ingat ibumu menunggu kamu sukses, Gi.
Kamu harus kuat, Tuhan dan aku selalu bersamamu." Egi mengangguk.
Meyakinkan hatinya bahwa ia harus tabah. Ia berjanji akan menjadi lebih baik
setelah ini. Ini janjinya.
0 Komentar