Oleh: Gaharu*
Mungkin dia bukanlah sosok yang
mengerti sekian rumus fisika dan tabel periodik kimia. Apalagi tentang proses
fertilisasi yang awam dibicarakan orang dewasa, hanya sebatas paham saja
artinya. Soal limit trigonometri, ah sudahlah, matematika memang susah
dimengerti. Seperti perempuan yang tak tertebak jalan pikirannya. Kalau
diasumsikan memang, perempuan adalah IPA dan laki-laki adalah IPS. Sementara
ikatan yang ada adalah BAHASA yang mampu menyatukan keduanya. Serumit itukah
rasa?
Sebenarnya rasa itu sederhana. Aku
pernah membaca seseorang menuliskan sajak tentang cinta. Dan aku mengakuinya
setelah melihat sosok pemuda yang terdiam di atas perahu. Padahal hari telah
malam, dia masih saja duduk menatap ujung lautan. Entah apa yang ditunggunya.
Aku memeluk diriku sendiri, sedikit
menggigil karena angin yang berembus benar-benar menusuk tulangku. Pakaian
tebal tak mempan menjagaku. Anehnya, saat kulihat kembali pemuda itu, dia hanya
mengenakan kaos dan celana kulot selutut. Apa dia tak kedinginan?
"Hei, Mas, kembalilah! Hari
sudah malam." Aku berteriak dari pinggir dermaga. Pemuda itu menoleh dan
hanya tersenyum tipis.
"Kalau kau sakit bagaimana?
Angin malam tak baik untuk kesehatanmu!" Teriakku sekali lagi. Nihil,
pemuda itu masih saja bergeming. Ia masih setia menatap ujung lautan yang sama
dengan langit malam. Hitam.
Aku memutuskan untuk menghampirinya.
Perahu bergoyang pelan karena ada satu manusia yang menaikinya tanpa izin. Aku
tahu perahu ini juga bukan miliknya. Kepalang tanggung, kami sama-sama duduk
menatap ujung lautan.
"Hei, Mas. Sebenarnya apa yang
kau tunggu?"
"Aku sedang mencarinya. Mencari
dermaga yang siap menjadi pelabuhanku. Aku seorang kelana yang mencari rumah
tuk singgah."
"Di sini ada banyak rumah, Mas.
Kau bisa pilih yang sesuai dengan kantongmu. Aku bahkan punya penginapan,
walaupun terbilang kelas rendah."
"Tapi aku tidak
menginginkannya. Aku hanya ingin dia tahu bahwa pikiran dan hatiku masih saja
berjarak. Ego dan nuraniku masih saja berontak." Pemuda itu
meluruskan kakinya dan menyisir rambutnya ke belakang. "Ah, memang tak ada
yang serumit rasa dan sesederhana rasa itu sendiri."
Eh? Ada apa dengannya? Dia baru saja
ditinggal kekasihnya kah?
"Aku tahu satu hal."
Pemuda itu menatap satu rasi bintang di utara. "Alyra dan Aldebaran berada
di kutub berbeda. Terpisahkan oleh garis ekliptika yang katanya seimbang.
Bagaimana bisa seimbang bila dilatasi selalu tercipta? Entah pemikiran yang
berjarak atau rasa yang tak bergerak."
"Sebentar, Mas. Kau bicara apa?
Aku tak mengerti." Aku menginterupsi ocehannya. Tapi dia bergeming, masih
tersenyum manis menatap kerlipan rasi bintang yang kutahu menjadi tanda musim
panas di kutub utara. Ya, rasi bintang Alyra.
"Banyak terjadi inflasi dalam
pemikiranku, Ra. Bahkan deflasi terkadang ikut membuat benakku terpojok. Aku
tak tahu hukum apa yang berjalan hingga mampu membuatku terpenjara oleh rindu.
Yang sekali lagi hanya mampu kuungkap lewat goresan pensilku. Di atas kertas
putih, mengingat wajahmu yang menenggelamkanku dalam pikiran semu."
Aku melirik, melihat sebuah kertas
yang sudah tergambar satu sosok gadis. Aku tak tahu dia siapa. Terkadang aku tak paham,
mengapa rindu tak bisa diungkapkan? Padahal tinggal bertemu saja sudah dapat
dipatahkan, bukan?
"Bukan karena kita berbeda, Ra.
Hanya saja kita tak saling jujur atas rasa yang ada. Aku yang berharap dan
mungkin kau juga sama. Kita membuat jarak, untuk memahami rasa yang timbul
tanpa permintaan ini. Dilatasi antara psikologi dan hati."
Ah, macam mana pula aku akan paham
maksud dia? Sejak tadi mengigau tentang dilatasi dan inflasi. Aku bukan anak
IPA atau IPS. Aku hanya anak bahasa yang menyukai sajak dan kisah. Serumit
itukah kisah cinta mereka? Bahkan sebenarnya kata saja sudah mampu menyampaikan
maksud tanpa perlu bersua.
"Mas, mengapa tak kau katakan
saja padanya? Mumpung belum terlambat." Aku menepuk pundaknya.
"Kami menjalani hukuman. Kami
harus menjauh dulu untuk mengejar mimpi masing-masing. Aku dengan harapku dan
dia dengan harapnya. Mungkin suatu saat setelah semuanya siap. Semoga masih
sempat." Ia tertunduk dengan tatap sendu. Ia masih tersenyum seolah lapang
dengan tikaman waktu yang tak berhenti memeluknya. Kacamatanya seolah
menyiratkan kisah klasik tentang rasa yang masih mencari dermaga.
"Ya, semoga saja masih
sempat."
Kami terdiam. Deru ombak menjadi
melodi kesenduan yang mengelilinginya. Atmosfer yang bercampur-aduk lama-lama
membuatku pengap. Aku tak bisa lama-lama di sini. Bisa jadi aku akan
sepertinya, menanti kesempatan yang tepat untuk mengungkap semua. Walaupun
hanya harapan saja.
Aku memutuskan bangkit dan
meninggalkannya dalam memori penuh intrik. Ia masih tersenyum menatap lukisan
gadisnya. Sesekali mengangkat wajah menatap ujung rasi Alyra yang perlahan
tenggelam di kutub utara.
"Eh?! Jangan!"
Aku berjengit, spontan menghentikan
langkahku. Aku menoleh, menatap pemuda itu yang mencengkeram rambutnya
frustasi. Ada apa lagi?
"Jangan tenggelam! Jangan
pergi! Lihatlah, Ra, aku masih di sini melihatmu. Memendam rindu yang tak bisa
kuungkapkan padamu. Ra! Lihatlah!"
Ah, dia frustasi karena rasinya
tenggelam dan berganti dengan rasi lain? Bumi ini berputar, pastilah setiap
malam rasi bintang akan muncul bergantian. Bagaimana bisa dia ingin satu rasi
bintang selalu hadir di depannya?
Aku menghampirinya kembali. Duduk di
sampingnya dengan tatap prihatin. Sebagai sesama laki-laki, aku turut merasakan
sesak yang sama. Segila itukah dia dengan rasa?
"Dilatasi sialan! Psikologi
menyebalkan! Hati yang tenggelam dalam perasaan! Karam! Kenapa kau tak
meninggal saja?!" Pemuda itu menunduk dan menutupi sebagian wajahnya.
Tubuhnya bergetar, dia tengah menangisi ketidak-berdayaannya saat ini. Lelaki
mana pun akan menangis bila hal yang sangat berharga kini tak lagi bersamanya.
"Agar aku bisa mengatakan semua
padanya. Agar aku tahu apa yang dimaksudnya. Agar kebingungan dan jarak tak
lagi menjadi persoalan."
Aku tersenyum tipis. "Mas, aku
tahu kau kuat. Tapi mengapa tak kau lepas saja dia yang membuatmu bingung dan
tersiksa seperti ini?"
Pemuda itu menoleh. Tatap matanya menajam
seolah mampu menembus benakku. Mengiris pemahamanku dan menggebrak kesadaranku.
Tidak, orang yang gila akan rasa tak bisa diajak kompromi soal hati dan
pikiran. Benar-benar dilatasi menyebalkan.
"Aku tak ingin. Bukan begitu.
Hanya saja, masih ada secercah harapan bahwa dia merasakan hal yang sama
denganku. Aku di sini mencari dermaga dan dia di sana menanti kapalku tertambat
pelan." Ujarnya sendu.
Aku menghela nafas, kukira akan
mendapatkan amarahnya. Ternyata dia lebih pantas dihargai karena dilatasi
psikologi dan hatinya mampu ia kendalikan dengan baik. Ia tak serta-merta
mengikuti emosi dan tak serta-merta mengikuti logika. Selaras, seimbang, pas.
Tapi mengapa soal rasa dia tak bisa menyeimbangkannya? Apa dia sengaja?
"Mengapa tak kau beri pula dilatasi
padanya? Semesta tak akan berontak bila kau mengambil secuil untuknya."
Pemuda itu menatap langit malam
dengan tatap sendu. Ia tersenyum manis dengan mata menyipit. Kacamata yang tak
turun dari batang hidungnya menyiratkan makna yakin padanya.
"Tak perlu dilatasi lagi. Karena tanpa sadar, dilatasi yang menemukan kami dan membawa kami pada rasa tak bermuara ini."
0 Komentar