Ilustrator : Permata Kamila* |
Oleh : Gaharu*
Pernahkah
kau mendengar perihal pantai tempat menanti? Di mana sepasang kekasih saling
menunggu dalam sepi? Ah, mungkin perihal menunggu sudah biasa bagi pasangan
kekasih yang tengah menjalani asmara. Memang cukup klise hal-hal
tersebut bagi para manusia dengan hati besar hingga ada nama yang terukir di
sana. Memang sudah biasa.
Tapi,
hal itu tidak berlaku bagi sepasang kekasih yang tak tahu akan hati
masing-masing. Seperti seorang gadis yang kini menatap hamparan perak kemerahan
di hadapannya, bersama buih harapan dan rindu. Gadis itu, bermata sendu, mata
yang sama saat menatap pemuda yang kini hanya ada di bayangan matanya. Berharap
dari ujung lautan, dia akan berlabuh di dermaga yang telah lama ia siapkan.
Mungkin hanya harap saja.
"Ran,
kau suka senja?" Gadis itu bermonolog menatap hamparan langit jingga.
Mengabaikan riuh ombak dan sahutan banyak mata di sekitarnya. Ia masih
membayangkan sosok yang sangat ia rindukan.
"Aku
tahu kau penikmat sketsa. Pecinta matahari. Dan juga pengagum sajak kopi. Apa
kau suka senja?" Gadis itu masih larut dalam bayangannya. Orang-orang
mulai menatap aneh, kemudian berlari menghindarinya seolah ia adalah orang
gila. Iya, Alyra memang sudah gila pada senja harapan.
"Tidak,
aku lebih suka tawa dan senyummu. Kau boleh saja mengelak. Tapi aku tahu, kau
juga mengharapkan hal yang sama denganku." Alyra tertawa pelan.
Kerudungnya berkibar terbawa angin buaian tentang masa depan. Sementara raga
dan jiwanya masih menanti harap yang mungkin akan berlabuh kemudian hari.
Dua
orang pemuda nampak memandanginya heran. Tiga orang wanita di belakangnya
nampak kebingungan. Bahkan pedagang rujak yang sejak tadi ribut dengan pembeli,
kini mulai memperhatikannya pula. Entahlah, seolah ada yang menarik perhatian
banyak mata untuk menatapnya. Seolah ada cahaya harapan yang membuat orang
pangling dari kenyataan.
"Lihatlah,
mana ada orang yang berbicara dengan dirinya sendiri seperti ia berbicara
dengan kekasihnya? Sungguh gila dunia ini!" Hardik seorang pemuda.
"Dia
sudah tidak waras. Apakah kewarasannya masih menunggu dirinya waras juga?"
Celetuk seorang gadis pada kawannya.
"Aku
pun tak mengerti dengannya. Omong kosong bila menanti seseorang yang tak
pasti!"
"Iya,
kalau aku jadi dia, mungkin aku sudah mencari yang lain. Bodoh sekali
dia."
Berbagai
umpatan, celotehan, rutukan, bahkan sindiran membabi-buta menyerangnya. Alyra
masih tersenyum dengan mata sendu penuh tunggu. Ia masih setia duduk di
bebatuan, menatap laut yang penuh tantangan. Dengan hati lapang, ia tetap
menunggu kekasihnya itu datang.
"Aku
hanya ingin kau tahu, bahwa aku berharap mungkin kita bisa menjadi utuh. Ya,
seperti Alina dan Sukab. Seperti Nalea dan Salem. Atau mungkin, seperti Alyra
dan Aldebaran. Iya, hanya harap." Alyra menatap sendu pada senja yang
semakin menipis, termakan waktu dan tertidur oleh realita pahit. Nyatanya,
sosok yang ditunggunya masih belum melabuhkan kapal di dermaga itu. Dermaga
yang selama ini sepi dan sempat dirusak oleh kapal masa lalu.
"Apa
karena pantai ini kau tak ingin berlabuh? Karena Muara Kasih? Apa kau tak ingin
kasih ini memiliki muara?"
Alyra
menghela nafas dan beranjak dari batuan. Beberapa pasang mata yang sedari tadi
menatapnya mulai berpaling. Mereka kembali sadar, harapan itu hanyalah bualan.
Realitanya, mereka harus kembali menjalani kehidupan masing-masing.
"Mungkin
tak semua kisah kasih harus memiliki muara. Seperti kita yang terus mengalir
tanpa tahu perasaan masing-masing, tanpa tahu sampai kapan, dan tanpa tahu
kemana kisah ini akan berakhir. Mungkin saja tak akan pernah berakhir, bukan?"
Alyra tersenyum dan sejenak menutup mata. Ia merasakan kilauan fana dari cahaya
mentari yang menari indah di perbatasan nabastala. Membiarkan bayu mendekap
dirinya dalam semu. Mematri sebuah nama yang tak pasti kan tiba bersama
gelenyar aneh di dadanya.
"Ran,
ingatlah pantai ini. Pantai di mana dermaga kubangun untukmu. Aku tahu, air
laut selalu pasang dan mengaramkan banyak kapal. Tapi aku yakin, kau pasti akan
tiba. Entah kapan, aku hanya tak bisa berhenti berharap. Iya, aku tak
bisa." Sekali lagi Alyra menatap merah keunguan dari hamparan perak di
hadapannya. Swastamita telah merubah langit dengan kepulan asap pahit. Menanti
mentari akan tiba kembali, meski itu tak pasti.
Sebuah
kapal lepas landas bersama beberapa orang yang bersiap menyaring rezeki di
lautan. Tanpa mereka tahu bahaya apa yang menghadang, tapi harapan tentang
keluarga yang menanti di rumah membuat mereka berani. Begitu pun Alyra, ia
tetap maju meski berulang kali dipaksa melupakan.
"Aku
sama sekali tak menyesal telah mengenalmu, Ran. Meski kau berubah, meski kau
pergi, meski kau memilihnya. Aku ingin berterimakasih atas sebuah rasa."
Alyra mengambil sebuah kertas dan melipatnya. Sebuah origami berbentuk hati
membuatnya sesak tanpa arti.
"Ah,
aku tak mengerti mengapa aku merasakan ini. Kau sungguh membuatku gila,
Ran." Ia menyimpan origami itu ke dalam tas. Langkahnya kembali terangkat,
membawanya menyusuri perbatasan kenangan yang tak pernah terealisasikan. Buih
ombak menyapanya dengan lembut, memberi kesan damai dan sesak. Tapi gadis itu
tersenyum, seolah menikmati setiap jejak penantian.
Matahari
resmi tumbang di ufuk barat. Menyisakan semburat merah dan derungan kapal yang
perlahan hilang dari pantai. Semua pergi, bahkan orang-orang yang berlarian
sejak tadi telah lenyap terhapus waktu. Mereka kembali dengan sisa kenangan
bersama orang terkasih. Tapi, kemanakah Alyra harus kembali bila di sini ia
masih menanti?
Bagi
Alyra, semua harapan adalah tempat ia menanti. Menanti kebebasan, kebahagiaan,
kesedihan, kekecewaan, kepahitan, hingga maut yang abadi. Hanya harap, seperti
yang pemuda itu lakukan. Hanya penantian rasa yang berusaha purna. Karena
asalnya, wanita hanya bisa menunggu kapal nahkoda itu berlabuh di dermaga.
Tanpa mengelakkan perjuangan yang mereka lalui bersama. Terlalu rapuh diucapkan
dan terlalu tajam untuk digenggam. Bukankah penantian dalam harap sekejam itu?
Iya,
memang sekejam itu.
Tapi,
senaif-naifnya rasa ia tetap hangat dan sederhana. Sesederhana rasa itu
sendiri. Tak dilebih-lebihkan ataupun dikurang-kurangkan. Semuanya selaras,
seperti tali merah yang ditetapkan langit untuk semesta. Mungkin hanya sepasang
kekasihlah yang dapat mengerti. Meski semua masih terhalang kelambu misteri,
rasa ragu itu selalu ditepisnya. Alyra menetapkan hatinya untuk terus menanti.
Duduk di hamparan pasir atau bebatuan, disiram kemilau perak kemerahan,
diselimuti harap kerinduan atas penantian.
Nyatanya
penantian dan harapan masih tak bermuara selayaknya kasih yang tak tentu arah.
Apalah arti sebuah nama bila rasa sudah pasti ada. Apalah arti sebuah status
bila ikatan rasa telah terjalin tanpa paksa. Rasa memang sesederhana itu dan
juga serumit itu. Manusia hanya bisa menanti dalam harap, memperjuangkan apa
yang mereka yakini. Selaksa kapal dari samudera yang berjuang melawan serangan
ombak lautan. Atau seperti dermaga yang berusaha kokoh meski banyak kapal
merapat, singgah, bahkan menghantamnya.
Atau
mungkin seperti kisah sepasang kekasih yang menanti dalam harap yang tak pasti.
1 Komentar
One kind of casino slot you’ll find just about everywhere, from your local casino to the 까모벳 Las Vegas Strip, is penny slots. By betting such a small sum of money, you may suppose the payouts won’t be so huge. However, by playing in} the max variety of paylines and credits, some gamers have been known to walk away with tons of of dollars from a penny slot machine.
BalasHapus