Oleh: Ario Rafni Kusairi*
Pagi
ini, Aku duduk di bangku koridor Kelas di gedung Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Jember. dilihat dari suasananya, sudah jelas kalau Aku datang terlalu awal,
sebab tidak ada seorang Mahasiswa dan Dosen pun di gedung ini, kecuali office boy yang sedang membersihkan
seisi gedung. Sembari menunggu teman-temanku yang lain, aku membuka aplikasi WhatsApp dan melihat-lihat kolom Snapchat.
“Maulid
Haram, itu Bid’ah, tidak diajarkan Baginda Nabi. Kullu Bid’atin Dlolalah, wa
Kulla Dlolalatin min Nar.” Ucap seorang Ustadz di Video Snapchat WhatsApp salah satu kontak di smartphone-ku. Di Snapchat WhatsApp selanjutnya, muncul video
Habib Syech Al-Segaf yang sedang membaca Mahallul Qiyam, disertai Caption
“Rabiul Awwal, Segala Puji bagi Allah yang menganugerahkan Kami nikmat Islam
dan Iman dengan diutusnya Nabi_Mu. Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad.” Dari Kontak
WhatsApp ku yang bernama Saiful.
“Daripada
memikirkan halal haram, bid’ah dan lain-lain, mending Kalian renungi berkah
Maulid Nabi secara Fisik, bukan sebatas Syari’ah maupun Spiritual,” menyusul Snapchat WhatsApp dari Dosenku, Bapak
Abdullah.
“Benar
juga? Lalu apa faedahnya secara fisik?” gumamku setelah membacanya.
***
Menyusuri
jalan Udang Windu, sebuah jalan arteri di sisi utara Perempatan Mangli yang
super padat, jalanan ini diisi oleh berbagai Pertokoan dan Kios di sisi kanan
dan Kirinya, dan berakhir di Jalan Lingkar di Utara. Setiap pergi dan pulang
dari Kost ke Kampus, begitupun sebaliknya, aku selalu menyusuri jalanan ini,
bersama salah seorang sahabatku diKelas, yakni Ria, Seorang gadis keturunan
Betawi yang tinggal di Kota Probolinggo, yang kebetulan kost Kami berdekatan.
“Sekarang
banyak buah-buahan yang panen ya!” ucapku pada Ria dengan setengah berteriak.
“Iya
lah, sekarang kan bulan Maulid!” jawabnya pula dengan setengah berteriak.
Kondisi jalan yang ramai tentu membuat dua orang yang ingin mengobrol di atas
Motor harus mengeluarkan suara ekstra.
“Hah?
Apa hubungannya sama Maulid?”
“Ga
tau, tapi setiap bulan Maulid, buah-buahan selalu lebat dan siap dirujakin!”
Aku
meresponnya dengan tertawa pelan, sahabatku ini memang sangat menyukai rujak,
bahkan tak jarang dia membawa seperangkat peralatan rujak ke kelas kami, dan
menyantapnya bersama-sama sepulang kuliah.
***
Break
sejenak dan nongkrong di Gazebo di atas bukit yang berlokasi di samping asrama
mahasiswa UIN Jember di siang hari yang terik, disughuhi gorengan dan minuman
dingin adalah aktivitas yang menyenangkan. Udara kota Jember yang panas
terobati dengan adanya pepohonan rindang di atas bukit kecil ini, ditambah
semilir angin sepoi-sepoi yang menambah keasyikan beristirahat dan ngobrol
ngalor-ngidul bersama teman-teman kelasku.
“Buku
apa aja yah yang wajib dibeli?” tanya Faris pada teman-teman yang lain.
“Ga
wajib beli, tapi wajib bawa tiap pertemuan! Kita bisa minjem kok.” Timpalku
padanya sembari mencomot se potong tempe Goreng.
“Mau
minjem di mana? Di Perpus loh ga ada tuh buku!” Timpal Ana padaku.
“Loh,
iya!”
“Jadi
harus beli, ada empat buku, Etnografi, Sosiologi Agama, Orientalisme dan buku
Biografi tokoh Pemikiran dan Pergerakan Islam. Yang terakhir ini bebas, tidak
wajib beli, tapi tiga buku yang Aku sebutin di awal itu terakhir Jumat harus
bayar!” Jawab Zia, seorang gadis berkacamata yang merupakan paduka koordiator
kelas yang agung.
“Serius
terakhir lusa?” tanyaku setengah kaget.
“Yap!”
“Kamu
kok ga ngingetin, Ziaa!” ucapku padanya, yang hanya direspon dengan gerakan
mata ke atas dan ke samping.
“Itu
adalah alasan bagi Mahasiswa malas!” timpal Bak Rizky dengan tertawa, yang
kubalas dengan melepas nafas berat.
“Ria,
pinjem duit dong. Hehehe.” Pintaku pada Ria, dengan harapan Dia mau memberiku
pinjaman uang.
“Ide
bagus, gua minjemin duit ke lu, dan gua ngemis di perempatan buat makan! Enak
aja lu, kagak-kagak, sekarang tanggal tua Bos!” jawabnya dengan dialek Jakartanya,
dan disambut dengan tawa teman-teman yang lain.
Seketika,
acara nongkrong menjadi tidak nyaman bagiku yang harus memutar otak untuk
mendapatkan buku-buku yang akan jarang
dibaca.
***
Tanggal
20, yang artinya dana dari “Big Bos” akan cair 10 hari lagi, dan sisa uangku
berjumlah 5 digit, yakni Rp. 30.000,-. setelah aku menghabiskan bekal dan uang
cadanganku untuk membeli keempat buku yang diwajibkan oleh Dosen-dosenku.
Apakah sisa uang ini akan cukup untuk 10 hari kedepan? Harus cukup!
Berbekal
uang seadanya, Aku mengganti sarapan nasi pecel dengan dua buah gorengan,
begitupun makan malamnya. Sebenarnya, bisa saja aku meminjam uang Rp. 50.000,-
pada teman-teman, apalagi Ria yang tentu akan memberikan pinjaman uang dengan
nominal yang masih standar. Namun, Aku tak mau membani Mereka, sebab aku paham,
tanggal tua tentu bukan hanya aku saja yang ngirit, seluruh mahasiswa rantauan
tentu akan meminimalisir pengeluarannya demi hidup di ujung bulan.
Untuk
mengatasi perutku yang keroncongan, Aku mensiasatinya dengan membaca novel,
menonton film dan bermain game di Smartphone
ku. Meski kegiatan-kegiatan ini tidak akan memberi dampak pada isi perutku,
tapi setidaknya keinginanku untuk makan bisa teratasi.
***
Sudah
dua hari aku mengisi kehidupanku dengan gorengan, tanpa nasi hal ini berimbas
pada perutku yang mengempes. Lidah dan perutku sudah rindu dengan rasa nasi,
tapi apalah daya, demi kelangsungan hidup, aku harus berpuas diri dan bersyukur
atas gorengan demi gorengan yang aku konsumsi.
“Rifqi,
Kamu dicari Pak Abdullah, sekarang Beliau nunggu di ruang Dosen!” Ucap Taufiq
padaku ketika aku baru saja keluar dari Kelas. Kulangkahkan kakiku menuju ruang
Dosen di ujung timur lantai 1 gedung Fakultas Adab dan Humaniora. Setelah
mengucapkan salam, Aku menghampiri Bapak Abdullah yang tengah duduk santai
sembari bermain dengan smartphone di genggamannya.
“Mohon
maaf Bapak, apakah Njenengan mencari Saya?” tanyaku pada Beliau setelah mencium
tangannya.
“Ooh
Rifqi, iya Saya nyuruh Taufiq buat manggil Kamu.” Jawab Dosenku ini yang juga
merupakan seorang Kiai dan memiliki Pondok Pesantren dengan ratusan santri di
Kota Jember.
“Selama
seminggu kedepan Kamu ada acara?” sambung Beliau dengan bertanya padaku.
“Ga
ada, Bapak.” Jawabku dengan posisi tubuh selayaknya seorang Murid berhadapan
dengan Gurunya.
“Bagus
kalo gitu. Selama tujuh malam, dimulai dari nanti malam, saya ada undangan
Maulidan dan itu jauh-jauh lokasinya. Kalo Saya nyetir mobil sendiri kan capek,
makanya Saya mau ngajak Kamu saja.” Jelas Beliau, “Gimana, bisa nanti malem?”
lanjutnya dengan bertanya kembali padaku.
“Bisa
Bapak, Saya siap.” Jawabku dengan mantap.
“Ya
wes, kalo bisa sebelum ashar Kamu sudah di rumah Saya.”
“Baik
Bapak, kalau begitu, Saya mau pamit dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Jawab Beliau setelah aku mencium tangannya dan keluar dari ruang dosen.
Alhamdulillah,
rezeki emang tidak kemana, selama seminggu ke depan, Aku bisa makan enak, ga
gorengan lagi. Gumamku ketika baru saja keluar dari ruang dosen, langkah demi
langkah kulalui dengan senyuman, sebab momen ini begitu istimewa, selain menyelamatkanku
di tanggal tua, aku bisa lebih dekat dengan Dosen yang Kuta’dhimi ini, bukan
hanya sebatas Mahasiswa dan Dosen, tapi bisa menjadi supir pribadi beliau.
***
Sudah
lima hari aku menjadi Supir Pribadi Bapak Abdullah, mengantarnya mengisi
Pengajian Maulid Nabi di berbagai lokasi, dari yang masih di Daerah Kabupaten
Jember, hingga ke Daratan Pulau Garam Madura. Sebagaimana seorang Khadam
mengikuti Gurunya, Aku pun mendapat cipratan “Bherkat”, bahkan ketika jamuan
makan, Aku diajak duduk di samping Bapak Abdullah, dan ikut menikmati apa yang
disajikan tuan rumah kepada Beliau, Bapak Abdullah juga sering menambahkan nasi
ketika piringku sudah mulai sedikit. “Bherkat” yang diberikan Tuan Rumah padaku
juga berisi lumayan banyak, dan kubawa “Bherkat” ke Kampus setiap keesokan
harinya untuk dinikmati bersama teman-temanku.
Selama
mengikuti Beliau, selain mendapatkan makanan enak dan gratis, tak jarang Beliau
bercerita Pengalaman Beliau semasa nyantri dan kuliah, sesekali Beliau
memberiku wejangan seputar dunia Pendidikan dan Kehidupan.
“Mahasiswa
sekarang itu dimanja dengan fasilitas, tapi tetap saja yang berkualitas dapat
dihitung jari. Dulu, semasa Bapak kuliah, jangankan Smartphone dan Laptop, handphone pun tidak ada yang punya, apalagi
dulu waktu awal-awal Kampus berdiri, semasa masih bernama IAIN Sunan Ampel
Jember, emang tidak ada yang punya Handphone,
karena yang Kuliahpun anak-anak orang ga mampu semua.” Kenang Beliau.
Tak terasa, malam ini adalah Jadwal terakhir Beliau mengisi Pengajian Maulid Nabi. Malam ini, Beliau mengisi Pengajian Maulid Nabi di Desa
Jurang
Sapi, Tapen, Bondowoso. Sebagaimana halnya perayaan Maulid Nabi di
Daerah-daerah yang lain, di Desa ini juga disambut dengan meriah dan suka cita,
Lapangan Masjid Baitur Rahmah sudah penuh diisi oleh Masyarakat Desa, begitupun
dengan akses menuju Lokasi Pengajian, yang dipenuhi oleh Pedagang-pedagang yang
mencari nafkah dalam Malam Perayaan Maulid Nabi. Entah mengapa, hatiku
tersentuh dengan antusias masyarakat desa merayakan kelahiran Paduka Rasul
Muhammad SAW.
***
Seusai
Pengajian dan bertamu sejenak dengan tuan rumah dan Tokoh Masyarakat setempat,
Bapak Abdullah berpamitan kepada tuan rumah untuk undur diri. Orang-orang yang
hadir di Ruang Tamu Kepala Ta’mir Masjid Baitur Rahmah pun menyalami Beliau
yang hendak pulang, aku pun segera menuju ke mobil, menghidupkan dan membukakan
pintu Kiri mobil. Setelah Bapak Abdullah masuk dan menutup sendiri pintunya, aku
pun segera menuju kursi kemudi untuk segera berjalan, namun langkahku
dihentikan oleh tuan rumah dan memberiku salam tempel, setelah sempat menolak
namun tetap dipaksa, Akupun berpamitan dan mengucapkan terimakasih.
“Kamu
masih ingat dengan Status WhatsApp Bapak
ketika awal-awal bulan Maulid?” tanya Bapak Abdullah padaku dalam perjalanan
pulang.
“Enggeh, masih ingat Bapak.”
“Apa
Kamu sudah bisa menjawabnya?” tanya Beliau lagi, pertanyaan ini tentu membuatku
kaget, sebab ketika membaca Status WhatsApp
Beliau, aku pun sempat merenungi apa berkah Maulid Nabi secara fisik.
“Kalau
Kamu belum mendapatkan jawabannya, Kamu harus lebih peka terhadap keadaan.
Sebelum melihat yang lebih jauh, coba lihat apa yang Kamu rasakan, selama
seminggu ini, ikut Saya ngisi pengajian Maulid, Kamu dapat makan gratis, dapet
bherkat, atau mungkin saja Kamu juga dapat salam tempel. Mungkin menurut orang
lain, apa yang Kamu dapatkan terkesan biasa saja, tapi tentu berharga untuk
Mahasiswa di akhir bulan,” Jelas Beliau, Akupun mendengarkan dengan seksama dan
tetap fokus pada jalanan.
“Bagaimana
dengan yang lain? Hidangan-hidangan pada acara Maulidan ini sudah menjadi bukti
keberkahan Maulid Nabi secara fisik. Ketika Maulid Nabi, makanan yang enak-enak
ada semua, buah, sayur, daging, semuanya ada. Berarti adanya Perayaan Maulid
Nabi ini menjadi berkah untuk para petani, peternak dan pedagang, mereka
mendapatkan keuntungan double pada Bulan Maulid, bahkan harga sembako bisa naik
ketika memasuki bulan Maulid. Belum lagi orang-orang yang punya jasa sewa sound system dan tenda, mereka tidak
libur kalau sudah nyampe bulan Maulid.”
“Jadi
makna Rahmatan lil Alamin jelas-jelas terasa di Bulan Maulid.”
Jelas
Bapak Abdullah panjang lebar padaku, seketika bulu kudukku berdiri, dan hatiku
tersentuh, berkali-kali kubaca Shalawat untuk memuliakan Kelahiran Nabi
Muhammad. Mengingat penjelasan Beliau, tampak terasa bahwa Aku hanyalah seorang
hamba dan ummat Nabi Muhammad yang masih jauh dari ajaran Nabi, jauh dari makna
“Mencintai Nabi”, sebab apa yang Beliau bawa tak kulaksanakan dengan
sungguh-sungguh, betapa sedihnya Aku ketika merasa bahwa Cinta dan Rahmat Nabi
sampai kepadaku, hambanya yang tak pernah mengingatnya.
Allahumma
Shalli Ala Muhammad
Allahumma
Shalli Ala Muhammad
Allahumma
Shalli Ala Muhammad
~The
End~
*) Ario Rafni Qusairy, Seorang Mahasiswa di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember, mengenal dan menyukai karya sastra sejak Nyantri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo. Pengagum sosok Fujiwara Takumi ini ingin terus mengasah kemampuan mengolah katanya meskipun rasa malas tak pernah berhenti melanda.
0 Komentar