oleh: Wilda Zakiyah*
Thala'al badru alaika, mintsaniyatil wadaa', wajabasyukru alaika, mada'an lillahidaa'. Allahumma shalli ala Muhammad. Allahumma shalli alaihi.
Ada banyak sekali shalawat-shalawat yang dikumandangkan, mulai dari shalawat qiyam sampai shalawat badar. Demi memperingati hari lahirnya baginda Nabi Muhammad SAW. moment yang diperingati setiap tahun, yang selalu menjadi hari bertumpunya kerinduan umat pada kekasihnya.
Kemarin teman-teman komunitas MMI (Mara MardĆ Institute), cakanca.id, dan takanta.id mengadakan maulid kecil-kecilan di basecamp kami, turut mengundang beberapa komunitas dan organisasi di Situbondo untuk memeriahkan maulid Nabi.
Lora Zaimuddin atau lebih karib kami menyebutnya Ra Zaim, beliau memaparkan betapa mulianya Nabi dan mengapa maulid dimeriahkan setiap tahunnya. Kata beliau, maulid adalah momen yang selalu ingin diulang. Ada banyak hal menyenangkan yang sudah pernah kita lewati, tapi hanya sedikit yang ingin kita ulang kembali, salah satunya maulid Nabi. Ada kembang api, banyak buah-buahan dan berbagai macam kue dihidangkan, agar semua menjadi meriah. Hal itu akan selalu menjadi sesuatu yang dirindukan. Senyum para umat seolah menyambut kekasihnya.
Ratusan tahun lalu ada manusia yang lahir diliputi cahaya, menjadi kekasih Tuhan paling mulia. Meski Allah mencintai Nabi Muhammad, hidup Nabi tidak Allah muluskan. Bukankah di dunia memang tempatnya lelah? Segala kesengsaraan menghiasi hidup baginda, mulai dari ditinggal keluarga sampai istrinya, juga dibenci oleh orang-orang Quraisy. Bukankah ia yang menyedekahkan seluruh harta miliknya dan milik sang istri sampai tak tersisa sedirham saja di dalam rumah beliau? Segala kesengsaraan kita bahkan lebih sengsara hidup Nabi. Ia tidak lantas menyalahkan Tuhan. Dengan segala ketabahan, ia kerap kali mentasbihkan syukur.
Menceritakan tentang Nabi kita barangkali tidak akan pernah ada habisnya. Enam tahun saya di pesantren, saya banyak mempelajari dan mendengarkan kisah-kisah Nabi. Beberapa kitab tarikh sudah hatam. Tapi tak pernah sekalipun saya bosan membacanya.
Yang selalu menjadi haru adalah seuntai ucapan kerinduan dan kekhawatiran pada umatnya. Kami yang dahulu belum lahir ini sudah menerima rindu beliau.
"Ummati, ummati, ummati.."
Diucapkan sebelum ia pergi. Izrail menjemput, menarik ruh keluar dari jasad baginda, sakit yang luar biasa. Padahal Izrail menariknya dengan sangat lembut, tapi rasa sakit yang luar biasa tetap dirasakan oleh baginda. "Ya Izrail, mengapa sesakit ini rasanya sakaratul maut? Apakah umatku akan merasakan sakit seperti ini juga? Kumpulkan sakitnya sakaratul maut padaku, biar aku yang menanggungnya" begitu tutur baginda Nabi.
"Bagaimana umatku tanpa aku ya Allah?" Di penghujung maut ia masih mengkhawatirkan kami. Tapi seringkali kami lupa padanya. Mengucap shalawat rasanya terlalu berat. Lebih mudah mengucap "aku mencintaimu" pada laki-laki atau perempuan yang dianggap pacar atau gebetan. Bukankah kami naif?
Rindu-rindu yang bertebaran darinya (Nabi Muhammad) kadang tidak kami balas. Lebih sibuk merindu dia yang tak jelas.
"Nge-bucin-in dia yang belum tentu juga kangen cuma bikin nyesek. Iya nggak sih~"
Kelahiran Nabi selalu dinantikan, shalawat nariyah ditasbihkan, bacaan Al-Qur'an dikumandangkan, shalawat qiyam yang diiringi musik hadrah juga dinantikan. Dalam perayaan maulid biasanya anak kecil menantikan buah-buahan dan makanan yang digantung, saling berebutan. Dulu saat saya masih kecil juga melakukan hal yang sama. Sepertinya kalian juga~
Kelahiran baginda selalu menjadi hal yang membawa kebahagiaan, sampai hari ini. Kalimat syukur juga tidak henti diucap, sebab pandemi juga sudah mereda. Tidak seperti tahun lalu yang perayaan maulid sangat dibatasi dan diminta untuk tidak ada kerumunan. Tahun ini sudah dilakukan seperti tahun-tahun sebelum pandemi datang. Meski harus tetap mematuhi protokol kesehatan.
Kemarin malam, di masjid dekat rumah juga merayakan maulid Nabi, menyalakan kembang api, mengundang grup hadrah, dan Habib Ja'far Shadiq mengisi tausiyah seputar maulid dan kisah Nabi. Beliau menceritakan kemuliaan dan kesabaran baginda. Kisahnya selalu menjadi cerita yang seru untuk didengar. Di manapun maulid dirayakan, di situ kebahagiaan bertandang.
Alhmarhum Mbah saya, sering berkata "Bertemu Nabi Muhammad saja, hidup dan matiku rasanya sempurna. Dapat syafaatnya selalu menjadi doa paling diaminkan" katanya dengan menggunakan bahasa madura yang kental. Saya mengenal Mbah sebagai orang paling khusyuk beribadah, apalagi dalam bershalawat. Dia selalu mengingatkan, tidak ada yang bisa memberi syafaat kecuali Nabi Muhammad, tidak ada yang paling mencintai umatnya kecuali Nabi Muhammad. Lantas dalam kami, di mana letak nama Muhammad?
Kalau diingat-ingat, hanya maulid yang mengingatkan untuk merindukan beliau. Pada hari-hari biasa kami sibuk dengan bekerja dan melupakan nama Muhammad.
Ya Rasul, akui kami sebagai umatmu, berikan syafaat pada kami di hari pembangkitan kelak.
Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad.
Situbondo, 19 Oktober 2021
0 Komentar