Oleh: Ario Rafni Kusairi*
Siang yang terik di sisi timur kota Situbondo,
tepatnya di sebuah pondok pesantren di sebuah desa yang masih asri. Pesantren
itu adalah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo. Siang hari tampak
sepi, sebab kegiatan belajar mengajar di sekolah formal dilaksanakan pada siang
hari ba’da dhuhur, dan pembelajaran Diniyah di Pagi
harinya hingga menjelang shalat dhuhur. Beralih ke bagian barat
Masjid Jami’ Ibrahimy, terdapat pemakaman yang menjadi tempat peristirahatan
terakhir bagi Raden Syamsul Arifin dan Puteranya Raden As’ad, yang merupakan pendiri
dan pengasuh pertama dan kedua Pondok Sukorejo. Serta makam putera Raden As’ad,
yakni mendiang Kiai Ahmad Fawaid yang menjadi pengasuh ketiga, beserta
makam-makam ahl al-Bait serta guru-guru
Pondok Sukorejo yang telah tiada usai mengabdikan dirinya untuk menyebarkan dan
mengamalkan ilmu yang telah didapatkannya.
Di pojok makam sebelah utara, terdapat seorang santri
yang tengah membaca Al-Qur’an. Mengapa santri ini tidak berada di sekolah?
Santri tersebut adalah siswa kelas XII SMA Ibrahimy, yang telah menyelesaikan
tahapan-tahapan ujian akhir sekolah dan sudah tidak diwajibkan lagi untuk
datang ke sekolah, maka Ia memanfaatkannya untuk melanjutkan khatm al-Qur’annya di makam. Setelah ia
menyelesaikan dua lembar terakhir di juz ke lima belas, ia menutup Al-Qur’an
dan melanjutkan dengan membaca wiridan-wiridan. Tasbih di tangan
kanannya berputar, mengikuti mulutnya yang komat-kamit membaca wirid. Di
akhir, ia berdoa kepada Allah, Tuhan semesta alam, yang telah memberinya
kenikmatan berupa islam dan rahmat berupa kesehatan serta hidayah berupa
keistiqamahan. Ia berdoa, dengan numpang
bherkat dari roh yang berada di makam, para Waliyullah. Permohonan
ampun untuk kedua orangtuanya mengawali doa yang ia panjatkan, dilanjutkan
dengan permohohan kesehatan jasmani dan rohani, kelancaran rizki yang halal dan
berkah, serta keistiqamahan dalam beribadah. Ia tujukan semua itu kepada kedua
orangtuanya, keluarga, saudara, guru-guru, serta kawan-kawannya. Di akhir, ia
memohon doa, agar segala hajatnya diberi kelancaran dan beriringan dengan ridha
Allah yang Maha Kuasa, Subhana Rabbika
Rabil Izzati Amma Yashifun, Wa Salamun Ala al-Mursalin, Wa alhamdulillahi
Aj’main, bibarakah al-Fatihah.
***
Seusai melaksanakan kegiatan rutin di malam Jumat,
yakni membaca surah-surah al-Mujiyat ba’da Maghrib, dilanjutkan
dengan pembacaan Shalawah al-Badriyah, Maulid al-Barzanji,
dan diakhiri dengan Shalawat Qiyam ba’da shalat isya’.
Santri-santri turun dari Masjid dan Mushalla pesantren untuk kembali ke asramanya
masing-masing, melanjutkan aktifitas kepesantrenan, yakni membaca Qasidah al-Burdah dan dilanjutkan dengan
evaluasi kegiatan di masing-masing asrama. Kenapa? Kalian lelah mendengar
aktifitas yang super padat ini? Santri-santri tidak lelah dengan rentetan
aktifitas yang harus dijalani. Namun sebaliknya, mereka menikmati setiap momen
yang dilewati.
Beralih ke gugus asrama “A” (Daerah S. Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, dan Sunan Bonang) yang berada di sebelah barat Komplek
Asrama Putra, yakni di asrama nomor 28, tampak anggota asrama yang duduk
melingkar, mendengarkan seorang kepala Asrama yang berbicara di depan-menyampaikan
point-point penting tentang pemberitahuan dari Pengurus Pusat Pesantren. Dan
dilanjut evaluasi kegiatan yang harus dibenahi. Namun meski begitu, ada beberapa wajah yang memperlihatkan wajah
lelah dan ngantuk. Tak sedikit anak-anak yang memberi kode dengan berpura-pura
melihat jam dinding. Melihat bahasa tubuh dari anak kamarnya, Ustadz Baha’
segera membubarkan pertemuan rutin ini dengan menutupnya dengan pembacaan Surah
Al-Fatihah dan salam.
“Di sini siapa yang mau boyong?” Tanya Ustadz Baha’
pada anak kamarnya yang tengah mengganti pakaian dengan yang lebih santai.
“Saya Ustadz.” Jawab Qasim.
“Loh, kok sudah mau berhenti, kan baru lulus SMA?”
tanya Ustadz Baha’ kembali.
“Iya Tad, Saya mau lanjutin kuliah ke UIN Jember.”
Mendengar jawaban Qasim, ada beberapa anak kamar yang
tertawa, terutama mereka yang sudah menjadi mahasiswa di kampus milik pesantren.
“Halah, sok sok an mau kuliah di luar, emang ada yang mau nerima kamu? 10 X 10
aja masih bingung.” Celetuk salah seorang anak kamar yang menyinggung kelemahan
Qasim di bidang matematika. Namun, Qasim dan teman-temannya yang sama-sama baru
lulus SMA hanya bergeming, sebab Mereka tahu bahwa Qasim baru saja diterima di
UIN Jember pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam, via SPAN-PTKIN.
“Wafi, ga boleh gitu sama adik kelasnya, jangan
karena Kamu ga bisa masuk PTN, jadi membully adik kelasnya.” Tegur Ustadz
Baha’ dengan sedikit menyindir anak kamarnya itu, yang diikuti oleh tawa dari
anak kamar yang lain.
“Kalau beneran mau boyong, lengkapi dokumennya mulai
sekarang, nanti biar cepet prosesnya.” Perintah Ustadz Baha’ pada Qasim,
“Yang lain juga, yang mau boyong lengkapi dokumennya.” Lanjut Ustadz
Baha’.
***
“Ngapain mau kuliah ke Jember, gausah, di sini sudah
cukup!” Tegas Ayah Qasim siang itu setelah mendengar penjelasan anaknya yang
baru saja mengatakan kalau akan melanjutkan pendidikan ke Kota Suar Suir.
“Tapi, Qasim sudah diterima, Pak!” Jelas Qasim
kembali, berharap Ayahnya berubah fikiran.
“Kuliah di luar itu mahal, Cong! Bapak gak ada uang, ingat kita
bukan orang kaya, Bapak cuma Petani!” Tegas Ayah Qasim kembali, dengan nada
yang lebih tinggi dari sebelumnya.
“Qasim ada tabungan, Pak, cukup buat
bayar SPP 4 Sem....”
“Kamu ini kok ngebantah? Kalo gak boleh
ya gak boleh, jangan ngelawan.”
Qasim pun terdiam, dia tak berani
membantah perkataan orangtuanya kembali. Ibunya mengusap pundak Qasim, yang
membuat Qasim lebih nyaman. “Sudahlah Nak, gausah ngelawan. Bapakmu tahu yang
terbaik buat kamu, itu pisang gorengnya dimakan, Ibu sengaja bawa makanan
kesukaan kamu.”
Qasim mencomot pisang yang dibawa oleh
Ibunya itu, namun moodnya sudah hancur sebab keputusan Ayahnya tadi.
Suasana Kiriman di Wisma Tamu siang
itu tidak terasa nyaman, ingin rasanya Qasim kembali ke asramanya, bahkan
pisang goreng yang ibunya bawa terasa hambar di lidah Qasim. Ia hanya memakan
satu gigitan, tak kuasa menghabiskannya. Ia pun memilih tidur di pangkuan
Ibunya, untuk menenangkan hatinya dan perasaannya yang kacau.
***
Semenjak keinginannya ditolak
mentah-mentah oleh sang ayah, Qasim merasa kehilangan arah, hari-hari yang
dijalaninya terasa hampa. Namun, meski begitu, Ia tetap berusaha tegar meskipun
itu sulit. Kini kesehariannya Ia jalani dengan membaca wirid Istighfar dan Shalawat dengan harapan dapat mendinginkan perasaannya yang gundah
gulana.
“Qasimnya ada, dek?” Tanya seorang pria muda
yang datang ke kamar A. 28 kepada seorang santri yang tengah duduk di emperan
Asrama Daerah Sunan Bonang (A).
Santri tersebut kaget dan segera
menyalami pria tadi, “Ada, pak, bentar saya panggilkan dulu.” Ucap santri
tersebut, “Silahkan duduk dulu.” Lanjutnya sembari masuk ke dalam kamar, yang
kemudian keluar kembali bersama Qasim.
“Loh, Mas Abu? Ada apa, Mas?” Tanya Qasim
kepada Pria tersebut sembari mencium tangannya, yang ternyata adalah saudara iparnya.
“Enggak, Mas sama Mbakmu cuma mau ngirim,
ayo ke Wisma Tamu, Mbak sudah di sana.” Jelas Abu pada Qasim, yang kemudian mereka
berdua beranjak dari asrama dan berjalan menuju ke Wisma Tamu yang terletak di
sebelah utara gugus Asrama A, tepatnnya di Daerah Sunan Maulana Malik Ibrahim.
Sesampainya di sana, Qasim segera mencium
tangan Vivin, Mbak Sepupunya itu dan Mereka bertiga bercengkrama sembari
menikmati nasi dengan lauk ceker pedas kesukaan Qasim.
“Kapan verifikasi data mahasiswa baru?” Tanya
Vivin sembari menikmati ceker pedas buatannya. Seketika, wajah Qasim berubah,
wajah girang yang sedang menikmati ceker pedas itu berubah muram, rasa ceker
yang selalu nikmat di lidahnya berubah hambar.
“Gak boleh sama bapak, gak boleh kuliah
di Jember.” jawab Qasim datar.
“Udah jangan dibikin ribet, input aja
datanya, masalah Om biar Mbak yang nanganin.” Ucap Vivin kembali meyakinkan
Qasim.
“Jangan deh, mbak, nanti bapak marah.”
“Mbakmu udah ngeyakinin om, dek, dan
akhirnya om setuju juga. Ini mas bawain kamu akte kelahiran sama KK, tinggal
nginput nanti.” Jelas Abu pada saudara iparnya itu, yang kemudian membuat raut
wajah Qasim berubah menjadi sumringah.
“Serius, mas, mbak?” Tanya Qasim sembari
tersenyum.
“Iya serius!” Jawab Abu dan Vivin
bersamaan.
“Alhamdulillah,” Syukur Qasim atas
bantuan saudaranya ini, tak terasa kedua bola mata Qasim basah berkaca-kaca
haru. “Makasih, mbak, mas, makasi banyak.”
“Sebagai gantinya, kamu harus rajin kuliah,
jangan males-malesan.” Tegas Vivin pada saudara sepupunya itu.
Keesokan harinya, Qasim kembali meminjam komputer
sekolah untuk menginput data verifikasi mahasiswa baru UIN Jember jalur
SPAN-PTKIN. Data-data yang ia butuhkan sudah terlengkapi dan berhasil diinput
dengan sempurna, tinggal menunggu pengumuman pembayaran UKT dan mendaftar ulang
ke Sekretarian Penerimaan Mahasiswa Baru UIN Jember.
***
Empat
tahun berlalu.
Tak terasa, tinggal seminggu lagi wisuda sarjana
akan dilaksanakan. Qasim menatap momen bersejarah dalam hidupnya ini dengan
senyuman. Waktu empat tahun berjalan begitu cepat. Meskipun ia harus Lulus di
pertengahan semester VIII dan IX, rasa bangga menyelimuti sukmanya. Empat tahun
bukanlah waktu yang singkat, perjalanan mengarungi samudera ilmiah di bangku
kuliah harus dihadapi dengan tekun dan sabar, sebab ombak dan badai cobaan
selalu menghantam.
Jika diingat pada awal-awal ia lulus
SPAN-PTKIN, santri senior di kamarnya menertawakan akan mimpinya yang tinggi
itu, bahkan tak jarang mereka mengejek Qasim tidak akan mampu bertahan di
kampus negeri. Tetangga di rumahnya pun tak luput memperbincangkan Qasim yang
akan berkuliah di salah satu kampus negeri di Jember itu. Mereka beranggapan
kalau Anak petani seperti Qasim tidak akan mampu untuk kuliah, sebab tingginya
biaya yang harus dikeluarkan. Namun, Qasim berhasil mematahkan anggapan dari
orang-orang yang meremehkannya. Ia buktikan dengan selalu mendapatkan nilai IPK
3.5 hingga 3.9. Kedua orangtua Qasim pun tak harus bersusah payah banting
tulang untuk membiayai kuliahnya, sebab berkat keadaan serta kepintaran
intelektualnya, ia berhasil mendapatkan beasiswa Bidikmisi dari Kemenag.
Tepat pada hari H wisuda Sarjana, Pasca
Sarjana dan Doktoral UIN KH. Achmad Shiddiq Jember, Qasim hadir ke kampus
ditemani oleh kedua orangtuanya beserta keluarga besar yang selalu mensupport
dari belakang, baik dukungan dana maupun moral. Rasa bangga menyelimuti hati
kedua orangtua Qasim beserta keluarga besarnya akan pencapaian Qasim yang
sampai pada titik ini.
“Program Studi Sejarah Peradaban Islam.”
Ucap MC dengan suara yang lantang, dan kemudian memanggil satu per satu
nama-nama mahasiswa yang diwisuda pada hari itu. Hingga akhirnya tiba pada
nama..... “Muhammad Qasim Hamidi, IPK 3.60.”
Qasim melangkahkan kakinya menuju ke
hadapan Rektor UIN Jember, Prof. Dr. H. Babun Suharto, untuk memindahkan pita
kuning di topi toga yang dipakai Qasim, sebagai simbolis kelulusan. Tak terasa
air mata Qasim mengalir dari kedua bola matanya yang sedari tadi berkaca-kaca,
syukur Alhamdulillah ia panjatkan akan rahmat Allah padanya. Begitu pun
dengan kedua orangtuanya, beserta Mbak Sepupunya, yakni Vivin, yang turut serta
meneteskan air mata kebanggaan.
Kesuksesan Qasim dalam menaklukkan bangku
kuliah tak luput dari perjuangan dan wejangan orang-orang di belakangnya. Yakni
kedua orangtuanya yang mendukung dengan harta, doa, dan moral, beserta keluarga
besarnya. Tak luput pula guru-guru yang telah membimbing Qasim, sang Maha Guru,
Kiai Azaim Ibrahimy, yang menitipkan nama baik Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyyah di pundak santri-santrinya yang akan pamit untuk boyong dari pondok,
beserta teman-temannya yang menjadi mood
booster untuk semangat dalam menjalani kehidupan di kampus impiannya.
“Terimakasih semua, tanpa kalian, Aku bukan
apa-apa.”
________________________________
*) Mahasiswa UIN KHAS Jember, dan Pengagum Sosok Fujiwara Takumi dalam anime Initial D.
0 Komentar