“Silahkan
ke ruangan Saya jam 14.00.” balas pembimbing skripsiku via WhatsApp, setelah kutanya kapan bisa kutemui untuk bimbingan. Aku
bernafas dengan berat, jam baru saja menunjukkan pukul 08.15 ketika Aku baru
saja tiba di gedung Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora UIN Jember.
Suasana
gedung ini tampak hidup. Terlihat mahasiswa, dosen dan staf berlalu lalang di
depanku yang duduk di bangku tunggu yang tersedia di koridor. Suara hentakan
kaki seakan menjadi sebuah instrumen pengiring tungguku. Aku mengeluarkan
sebuah novel dari dalam tas, untuk membunuh rasa bosan di tempat yang ramai,
tapi sepi. Jangan kira aku rajin membaca, tidak, tapi bermain dengan gawai
tentu lebih membosankan.
Semua
orang berpendapat bahwa menunggu itu menyebalkan, bahkan waktu akan terasa
lama. Ya, itulah yang kurasakan sekarang, tak terasa sudah dua bab di novel
yang kubaca telah selesai, namun jam masih menunjukkan angka 10.26, masih
sangat lama dari jam yang dijanjikan. Aku berdiri dan melakukan sedikit
peregangan dan beranjak keluar dari gedung fakultas. Berjalan-jalan keliling
kampus, meski suasananya tidak berbeda, namun ini cukup untuk mengalihkan rasa
bosan.
Aku
melangkahkan kakiku ke arah timur fakultas, menuju perpustakaan yang
dihubungkan dengan jembatan berwarna hijau dan putih. Perpustakaan termasuk
jajaran gedung yang ada di bagian depan kampus, bersanding dengan gedung
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan serta Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Di
depan ketiga gedung ini, terdapat lapangan basket dan futsal yang menjadi satu
dan lapangan bola voli yang di siang hari berfungsi sebagai tempat parkir, dan
benar lapangan ini sudah penuh oleh kendaraan yang lebih didominasi oleh motor.
Dari ketiga gedung ini, tampak mahasiswa yang masuk dan keluar, dengan
menggendong tas dan ada beberapa yang merangkul buku.
“Fahmi!”
telingaku menangkap suara yang memanggil namaku. Saat kumenoleh ke arah suara
itu, ternyata seorang gadis dengan mengenakan gamis abu-abu serta hijab dengan
warna seanada yang menutupi kepalanya. Senyuman khasnya yang lebar menambah
kesan menawan dalam wajahnya.
“Eh,
Rara.” Aku menghampirinya yang tengah berdiri di depan tulisan I Love FTIK,
“Abis bimbingan, ta?”
Rara
menjawabnya dengan anggukan, “Kamu dari mana?”
“Mau
bimbingan, tapi Aku datang ngawal, ini jalan-jalan keliling kampus biar
ga boring.”
“Ke
gazebo yuk, aku mumpung bawa camilan nih.”
Aku
pun mengiyakan ajakannya, Kami berdua berjalan berdampingan menuju ke gazebo di
belakang gedung rektorat. Beruntung, ada satu gazebo yang kosong, Kami pun
menjatuhkan pantat kami di bangku gazebo yang terbuat dari adonan semen dan
batu bata. Rara mengeluarkan sebuah tupperware yang berisi usus krispi
dari tasnya untuk kami nikmati bersama.
“Aku
dah lama pengen makan usus krispi, tapi ga tau mau beli di mana.” Komentarku
sembari mencomot sebatang.
“Iya, tah? Makan yang banyak dah, Mi!” Ekspresi
senang tergambar jelas dalam wajah Rara atas apa yang kukatakan tadi.
Kami
berdua berteman usai dipertemukan dalam satu kelompok KKN tiga bulan yang lalu,
dan kami cukup akrab yang membuat obrolan dapat mengalir dengan lancar. Sesekali
Kami tertawa di tengah-tengah obrolan. Wajah lesuku kini sedikit berubah cerah,
sejak tadi pagi tidak ada teman untuk kuajak berbicara. Tak lama kemudian, Masjid
Sunan Ampel UIN Jember mengundang para masyarakat kampus untuk beribadah dhuhur.
Rara pun berpamitan padaku, ia mengatakan jika akan pulang ke kostnya, sebelum
pergi ia menawarkan usus krispi itu padaku, namun kutolak dengan alasan sudah
kenyang. Kami berbalas tos sebagai tanda pamitan.
Kulangkahkan
kakiku ke arah masjid yang berada di sebelah barat gazebo tempat kami berdua
nongkrong, untuk memenuhi panggilan Tuhan yang baru saja disampaikan oleh Muadzin.
Aku duduk di dalam masjid setelah berwudlu’, dan mengikuti dizikiran yang dibaca sebelum shalat.
Satu per satu, jamaah memasuki masjid. Tampak beberapa jamaah yang shalat
dua rakaat, bahkan tak sedikit yang langsung duduk tenang bahkan meluruskan
punggungnya di lantai masjid yang dingin. Sepuluh menit berlalu sejak adzan
dikumandangkan, muadzin kemudian
berdiri dan mengumandangkan iqamah, tampak seorang dosen senior maju ke
depan berdiri di mihrab untuk memimpin shalat jamaah. Seperti
biasa, Imam shalat memberi intrsuksi untuk tenang dan merapatkan shaf,
dan kemudian shalat ditegakkan.
Seusai
shalat dan wiridan, satu persatu jamaah shalat dhuhur
meninggalkan masjid untuk kembali ke aktivitasnya masing-masing, sedangkan aku
memilih untuk merebahkan badanku. Terdengar suara gemeretak dari punggungku yang
rasanya cukup nikmat. Aku memandang langit-langit dengan tatapan kosong, seakan
bingung dengan apa yang harus kulakukan. Cukup lama Aku melamun, namun aku
segera bangkit setelah mataku berat, dan hampir tertutup. Jam sudah menunjukkan
pukul 12.40, yang berarti satu jam lagi jadwalku bertemu dengan pembimbingku.
Aku segera keluar dari masjid, memasang sepatu dan berjalan ke arah selatan,
kembali ke fakultas. Dan aku cukup beruntung siang ini, sebab ada adik tingkat
yang mengajakku untuk berboncengan dengannya, lumayan menghemat tenaga dan
waktu.
***
Ternyata
ada perubahan rencana pertemuanku dengan Bapak Amin selaku pembimbingku, Beliau
memintaku untuk menemuinya di perpustakaan lantai 1, bukan di Fakultas. Setibanya
di perpustakaan, Aku pun masuk ke ruangan yang beliau maksud. Usai mencium
tangannya dengan ta’dhim, Bapak Amin kemudian menyodorkan satu bandle
skripsiku di bagian BAB III yang sudah diberi tanda lahir olehnya. “Bagian ini
sudah tepat, tapi di sini kamu perbaiki lagi.” Titahnya padaku. Setelah
pertanyaan dan konsultasiku dijawab, Aku pun pamit untuk keluar dari ruangan beliau.
Kuucapkan salam usai mencium tangan beliau sebagai tanda ta’dhim.
Gemuruh
hujan terdengar ketika aku baru saja keluar dari ruangan tempatku bimbingan,
bagiku tidak masalah, sebab aku membawa mobil ke kampus, tidak perlu menunggu
hujan reda untuk pulang. Namun, mataku menangkap gadis yang baru saja kutemui
tadi, yah orang itu adalah Rara yang baru saja menuruni tangga keluar
perpustakaan.
Pandangan
kami bertabrakan yang menumpahkan senyuman di wajahku dengannya. “Kok di sini?”
tanya Rara.
“Iya,
sama dospem disuruh ke sini. Kamu ngembalikan buku?”
Rara
menjawab dengan anggukan, dan mengalihkan pandangannya ke halaman perpustakaan
yang tengah diguyur hujan, nafasnya yang berat terdengar di telingaku.
“Kamu
bawa motor ke sini, Ra?”
“Enggak,
Aku jalan kaki, kirain ga bakal hujan tadi.” Wajah murung tergambar di wajahnya
saat menjawab pertanyaanku.
“Aku laper, ikut yuk cari makan, makan
pedes-pedes enak nih hujan-hujan.” Ajakku padanya, sekalian kuantar pulang
nanti. “Tenang, Aku bawa mobil, Kita ga perlu hujan-hujanan.” Senyuman Rara
terlukis kembali di wajahnya, senyuman yang sangat kusuka.
Kami
berdua keluar dari perpustakaan. Di teras, Aku memintanya untuk menunggu di
sini selagi kutembus hujan menuju mobil. Dengan sedikit berlari, Aku tiba di
mobil Lan-Evo X berwarna merah metalik yang kuparkir di halaman parkir khusus
mobil. Setelah masuk ke dalam, Aku pun menghidupkan mesinnya, dan terdengar
deru yang agak keras dari cerobong pembuangan, setelah memasang savety belt dan mengaktifkan Air Conditioner untuk menghilangkan
embun di kaca depan, kumundurkan mobil ini dan kuarahkan ke depan teras perpustakaan.
Rara membuka pintu sebelah kiri dan masuk ke dalam. Setelah megunci pintu
dengan rapat dan memasang savety belt
pula, kumajukan mobil ini meninggalkan gedung perpustakaan dan berbelok ke arah
utara menuju jalan keluar yang berada di depan perpustakaan. Di saat hujan
mengguyur, kawasan kampus UIN Jember tampak lebih sepi, jarang terlihat
kendaraan berlalu-lalang, bahkan halaman parkir di depan perpustakaan, Fakultas
Tarbiyah dan Dakwah hanya terlihat beberapa motor yang mudah dihitung jari.
“By the way, mau beli apa, Ra?”
“Gimana
kalo seblak deket Unmuh?”
“Oke.”
***
Tiga
puluh menit berkendara, akhirnya Kami tiba di tempat tujuan Kami. “Seblak Mang
Ujang” namanya. Setelah melintasi alun-alun Jember yang padat akan kendaraan,
Jembatan Semanggi dengan kelokan tajamnya, ruas jalan Jawa hingga Jalan
Karimata yang dikenal dengan istilah daerah
kampus dengan kepadatan akan kendaraan dari semua arah yang menjadi hiasan
wajibnya.
Setelah
kupinggirkan mobil, kami berdua keluar dengan sedikit berlari, sebab hujan
belum reda. Setelah memesan dua mangkok seblak dengan level 5 bagi Rara dan
level 2 untukku serta dua gelas Teh hangat sebagai pasangan, kami pun duduk di
kursi yang disediakan. Kedai ini tidak terlalu luas, bahkan hanya tersedia satu
tempat makan yang Kami duduki, namun tata letaknya rapi dan bersih. Sama halnya
dengan kedai atau warung pada umumnya, display menu merangkap kasir atau bahasa
kerennya gerobak, diletakkan di depan, menu yang Kita pesan diracik di sana, di
tengah adalah tempat makan, dan bagian belakang rak berisi camilan dan lemari
pendingin berisi minuman. Konsep minimalis yang sebenarnya diperlihatkan kedai ini.
Aku suka.
“Kamu
sering beli seblak di sini?” tanyaku pada Rara sembari menyantap seblak panas
di depanku.
“Ga
sering sih, tergantung ada yang ngajak aja.” Rara terlihat meniup kuah yang
panas ini, “Kalo Kamu?”
“Baru
sekarang.”
“Oh
ya?” kali ini, Ia mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku dengan wajah terkejut
namun tetap tersenyum.
Usai
urusan Kami di kedai ini selesai, Kami segera masuk kembali ke dalam mobil, dan
hujan masih belum kunjung reda. Agar tidak perlu putar balik, kuarahkan mobil
ini maju, berjalan ke arah selatan di jalan karimata, setelah berkendara sejauh
satu kilo meter, kubelokkan arah mobil ini ke kanan, menyisir Jalan nasional
III.
“Mau
langsung pulang apa masih mau mampir ke mana?”
“Pulang
aja deh, ujan-ujan gini.”
***
“Mau mampir dulu apa langsung pulang?” tanya
Rara padaku usai kuhentikan laju mobil ini tepat di depan rumah kostnya.
“Ga
ah, entar digrebek.”
“Ya
di ruang tamu lah, bukan di kamarku juga dong.” Rara terlihat menggerakkan
matanya ke atas dan ke bawah, yang memancingku untuk tertawa. “Ya wes, hati-hati
di jalan yok.”
“Siyap,
Bu.” Jawabku dengan memberi tanda hormat padanya.
Jalan
di depan rumah Kost Rara cukup lebar, bahkan dua buah truck sekaligus bisa
berpapasan, membuatku hanya perlu sekali memutar penuh setir untuk berbalik
arah. Kulihat Rara masih berdiri di depan pintu, kubunyikan klakson untuk
berpamitan padanya, yang Ia balas dengan lambaian tangan. Di kaca spion, masih
kusempatkan untuk melihatnya, dan ia telah masuk ke dalam bersamaan dengan
mobilku yang merayap meninggalkan perumahan ini.
Hari
ini cukup menyenangkan, Aku bisa quality time bersama salah seorang
temanku, teman yang begitu istimewa. Namun, di perjalanan pulang, aku merasakan
hal yang aneh, meskipun aku sudah sering merasakannya, seperti ada sesuatu yang
hilang dalam diriku, suatu rasa yang selalu hinggap di dada ketika berpisah
dengan seseorang, setelah bersenang-senang cukup lama.
Apa
ini rindu? Mungkin saja.
_________________________________
*) seorang rookie yang
tengah memperjuangkan D.
0 Komentar