"Rat, kamu
bisa ke rumahku, ndak? Aku punya sesuatu untukmu," ujar Radjo saat
menelepon sahabatnya pagi ini.
"Ke rumah
Adang? Untuk apa? Dang Radjo kan tahu
Ratna ndak bisa berjalan, Adang mau mengerjai Ratna, ya?" tuduh perempuan
itu dengan nada cukup kesal, khawatir akan diusili oleh sahabat yang akrab
dengan sapaan Dang Radjo itu, sebutan untuk pria yang usianya jauh lebih tua
dalam bahasa Minang.
"Tenang, akan
aku jemput. Eh, atau besok dibawa ke sekolah saja."
"Memangnya
apa?"
"Masih
menjadi rahasia negara. Besok juga Ratna tahu." Setelah mengatakannya
Radjo mematikan panggilan tanpa salam. Selain karena signal telepon yang bisa
saja langsung terputus, harga pulsa di desa yang mereka tinggali tarifnya juga
jauh lebih tinggi dari daerah lain.
Ratna Andini,
begitulah nama gadis tadi, walaupun
lahir dengan keterbatasan fisik, dia
tidak pernah mengeluh, semangatnya menekuni bahtera kehidupan yang
panjang dan keras ini tak pernah padam. Lahir dalam kondisi kaki yang tak
lengkap tak pernah membuatnya kehilangan arah untuk bersekolah. Di desa paling
pelosok wilayah Sumatera dengan medan yang terjal, lereng-lereng gunung dan
hutan itu, Radjo Langit dan Ratna lahir, hidup, dan mengenyam pendidikan.
Sejak duduk di bangku
sekolah dasar hingga sekolah menengah umum saat ini, Ratna selalu bisa
membuktikan kualitas dirinya dengan memenangkan banyak sekali Olimpiade
matematika. Dia berhasil membuktikan bahwa kekurangan sama sekali tak menjadi
halangan seseorang untuk mendapatkan apa
yang mereka inginkan.
Radjo selalu
mengatakan dia hanya tak memiliki kaki, bukan otak dan akal pikiran. Katanya
juga, zaman sekarang orang sudah tak bekerja dengan tubuhnya, akan tetapi
dengan otak dan kecerdasan yang mereka miliki. Hal itu yang senantiasa Ratna
ingat dari Radjo.
Dan karena
kebersamaan itu pula mulai timbul benih-benih cinta dalam hati Ratna untuk
sahabatnya. Sekalipun tak pernah ada sesi pengungkapan semua rasa itu seperti
mengalir semakin deras setiap hari. Pria yang berusia dua tahun di atasnya itu
memang sering mengusilinya, akan tetapi semua itu tak menjadi alasan Ratna
untuk tak jatuh cinta kepadanya.
Karena selama ini
hidup bertumpu pada paha, kehadiran Radjo dalam hidup Ratna seperti sebuah
anugerah. Ia tak tahu kebaikan apa yang dirinya lakukan hingga Tuhan menempatkan
laki-laki baik hati dan tampan seperti Radjo di sisinya, Pria yang bersedia
menggendong dirinya setiap hari menuju sekolah. Radjo yang selalu menepati
janjinya sejak kecil untuk menjadi kaki bagi sahabatnya.
Akhirnya esok
hari datang meskipun begitu lambat seiring dengan rasa penasaran Ratna terhadap
sesuatu yang kemarin Radjo sebut-sebut di telepon. Setelah diminta menunggu
cukup lama laki-laki dengan tubuh kurus itu akhirnya berlari ke arahnya sembari
mendorong sebuah kursi roda lusuh. Pendaran tawa semringahnya itu seperti
sumber bahagia untuk wanita penuh ketidaksempurnaan seperti Ratna. Tawa itu,
yang akhirnya membuatnya jatuh cinta.
"Dapat dari
mana?" Ratna memandangi benda itu dari atas ke bawah saat Radjo sudah berada
di hadapannya. "Mak Tuah bilang aku boleh membawanya karena dia sudah
membeli yang baru," jawab Radjo sambil mengatur napas. Ratna ingin
menangis rasanya, akan tetapi inj adalah perbuatan Radjo Si Malaikat, hal
mengharukan seperti ini sudah sangat sering dilakukannya.
"Coba sini
aku bantu." Dengan sekali ayunan Radjo berhasil memindahkan tubuh kecil
Ratna ke kursi beroda itu. "Tapi sekalipun Ratna pakai kursi ini, kan tetap
harus Adang yang dorong,” ucap Ratna sedikit parau.
"Tidak
masalah. Suatu saat nanti aku pasti akan membelikan kamu kursi roda elektrik
yang canggih. Kamu hanya perlu menekan beberapa tombol dan kursinya akan
berjalan sendiri."
"Bagaimana
mungkin? Harganya bahkan setara dengan harga tanah di desa kita."
"Di masa
sekarang semua bisa dibeli dengan uang, Rat. Ndak apa-apa sekarang aku tetap
antar jemput kamu, lagi pula aku tidak pernah keberatan," katanya ringan.
"Ah, aku
lupa kalau ayah Adang adalah Tuan Tanah," sindir Ratna yang dibalas
decakan kesal dari Radjo. "Aku seharusnya tidak berjanji akan menjemput
setiap hari kalau disindir begitu, aku kan anak Tuan Tanah," sarkasmenya.
Ratna tak
menanggapi ucapan Radjo akan tetapi bibirnya melengkungkan senyum bahagia. Ah,
wanita memang munafik pada perasaannya sendiri. "Lagi pula, aku tertarik
pada mesin dan teknologi alih- alih matematika kali ini," kata Radjo
berkisah.
"Teknologi?"
"Iya, aku
kemarin pergi ke kabupaten untuk membaca buku di perpustakaan. Dan aku membaca
bahwa beberapa orang di negara lain dengan keistimewaan sepertimu memakai kaki
buatan untuk berjalan."
"Kaki
palsu? Apa maksud Adang Ratna bisa
berjalan tanpa kaki? Maksud Ratna, seseorang bisa berjalan tanpa kaki?"
Radjo tertawa
sambil mengacak-acak puncak kepala Ratna gemas. "Wajahmu cantik dan kamu
pintar matematika, tapi bodoh sekali saat aku bicara tentang sains."
"Ratna,
bodoh?" Ratna tentu menyeru tidak terima, sedang Radjo semakin terbahak
karena seruan gemasnya. Mereka terus menyusuri
sekolah sambil berbicara dan berdebat seperti biasa, bercanda dengan mesra
seolah orang-orang di sekitar adalah benda tak bernyawa.
****
Sudah tiga puluh
menit Ratna menunggu Radjo menjemputnya untuk berangkat ke sekolah. Gadis itu
mulai menekuk wajahnya, pasalnya empat hari telah berlalu dan selama itu juga
laki-laki yang akrab dia panggil Dang Radjo itu tak pernah datang untuk
menjemputnya. Aneh saja setelah mengatakan tak keberatan untuk melakukan itu dia
malah menghilang seperti ini.
_____________________________
*) Siti Romlah adalah gadis asli kota Situbondo pengagum hitam dan senyap. Saat ini ia sedang proses terbit novel solo keduanya dan aktif di berbagai komunitas menulis. Jejaknya bisa dilacak di akun instagram dan wattpadnya @romlah1909.
0 Komentar