Oleh: S. Rohmah*
Rasa-rasanya memang tidak ada kalimat yang pantas untuk melukis dirimu, Mak. Kanvas semesta pun tidak cukup mengurai kasih dan sayangmu. Pun tak cukup juga hatur puisi itu menjadi ukiran paten tentangmu, Mak. Kau lebih dari sekadar yang kusebut sejak tadi. Kau lah perempuan merdeka itu, Mak.
Bismillah....
saya akan sedikit menyulam benang
merah yang masih berjejal-jejal diingatan. Pun tidak mengurangi rasa hormat dan
takdzim saya pada Emak. Ijinkan saya berlayar sedikitnya hidup dua puluh dua
tahun yang lalu. Usia saya yang baru mengenal emak lebih dekat dari biasanya.
Mengenal emak perempuan kelahiran 70-an ini, telah menautkan hidup dengan
lelaki pujaannya, Bapak. Terhitung tiga puluh delapan tahun lalu setelah
taburan bunga memenuhi tanah gundukan dan batu nisan.
Perempuan yang akhir-akhir ini membuat saya lebih jauh ingin mengenalnya, terkadang merasa ‘terlambat’. Kenapa tidak semasa Emak hidup saya bersemangat mengenalnya lebih dekat. Kenapa baru menyadari setelah kalimat perpisahan dimulai. Duhai, terlalu dhoif bungsumu ini, Mak. Ampuni.
***
Jujur, saya memang tidak terlalu dekat
dengan kedua orang tua. Pola asuh yang mereka tanamkan dari kecil memberikan
saya kebebasan berpikir dan tidak terlalu bergantung pada siapapun terkecuali
Tuhan. Emak adalah tipe ibu yang tidak menekan anak-anaknya harus selalu
berprestasi. Tidak terlalu menuntut diumur sekian harus pintar mengaji,
membaca, menghitung serta menulis. Tidak, emak tak se ekstrim itu. Beliau hanya
mendidik bagaimana anaknya berlaku baik dan berpenampilan apa adanya serta
pandai menerima. Di dunia pendidikan pun, beliau tidak ingin saya dan kakak
menjalin nasib yang sama seperti emak yang harus menghentikan sekolahnya
ditamatan sekolah dasar saja.
Dari emak yang tidak banyak menuntut
dan pemilik dada yang lapang, saya dan kakak merasa tepat memiliki support
sistem yang baik. Dari emak pula lah, darah berkesenian itu mengalir pada saya
dan kakak hingga saat ini. Dari sokongan emak pula lah saya dan kakak selalu
berhasil membawa pulang piala setiap naikan kelas dan acara perpisahan. Emak
memang bukan tipe ibu yang memanjakan anak-anaknya. Sebab saya menyadari juga,
hidup untuk esok saja masih diambang, apakah tungku akan selalu mengepul setiap
pagi atau sebaliknya.
Bagi emak, fenomena itu lantas tidak
membuatnya patah arang. Emak terus semangat melanjuti hidup tidak lupa dengan
senyum tulus yang disuguhkan pada kami setiap harinya. Mak memilih tidak
berdiam diri di rumah. Beliau memilih membuka jualan kecil-kecilan. Menjajakan
jamu tradisional disekitar rumah. Sambil lalu menunggu bapak pulang dari
berburuh tani yang kadang juga berburuh nelayan serta upah yang kadang tidak
sama sekali didapat. Berkat dari jualan jamu membuat Emak semakin membantu
bapak dengan begitu, mengangkat sedikit permasalahan bidang ekonomi di keluarga
kecil kami.
Hari-hari terus berganti, semakin
banyaknya jamu instan yang masuk ke desa, merosot pula penghasilan dan
langganan Emak. Sedang kebutuhan semakin mendesak saja. Saya yang hampir
selesai dari tamatan sekolah dasar dan akan melanjutkan pada sekolah menengah
pertama, membuat Emak berpikir lebih
keras agar bungsunya bisa melanjutkan pendidikannya lebih tinggi lagi. Tanpa
banyak pertimbangan, emak sudah mengisi formulir pendaftaran karyawan gudang
ikan teri yang dilampirkan dengan fotokopi ijazah sekolah dasar miliknya. Dua
hari setelah itu, mak sudah sah menjadi karyawan baru dan jadwal menanak pun
dimajukan lebih pagi. Bapak yang dengan biasa beraktivitas ke sawah kadang melaut
begitu juga saya yang harus berangkat pagi ke sekolah membuat emak untuk
memastikan kami selesai beraktivitas sarapan ala kadarnya, walau jauh dari kata
empat sehat lima sempurna.
Selesai dari aktivitas itu, gubuk
kecil kami sepi. Emak sudah mulai mengayuhkan sepeda ontelnya bersama dengan
teman-teman karyawan lain yang satu desa. Perjalanan yang agak jauh karena
melewati empat desa sekaligus melewati jalan raya berpantura membuat saya
selalu tidak tenang menunggu kepulangan emak. Per pekan selalu datang berita
kematian sebab kecelakaan besar antar speda dan truk angkutan barang kontiner.
Saya selalu berdoa semoga emak selalu diberi umur panjang dan barokah. Saya
belum sanggup kehilangan emak.
Seminggu
dari bekerja, emak menerima gaji pertamanya. Beliau membeli kebutuhan dapur dan
sebagiannya untuk ditabung. Berkat tabungan emak, saya lolos dari pendaftaran
sekolah menengah pertama. Dari tabungan emak pula, saya juga masih bisa membeli
kebutuhan alat tulis dan diktat. Emak selalu memikirkan bagaimana caranya agar
anaknya sama dengan anak-anak tetangga yang lain. Pula emak bercita-cita agar
anaknya bisa melanjutkan pada jenjang perkuliahan. Menjadi mahasiswa di
universitas ternama di kotanya. Arrgh emak, kemana lagi doa-doa mustajab itu
saya dapatkan sekarang? Doa-doa emak selalu terkabul untuk keberlangsungan
hidup saya. Maka, saya menyimpulkan jika kehidupan saya saat ini lebih baik
dari sebelumnya, bukan karena saya yang hebat. Tapi doa-doa emak lah yang
dimakbul oleh Allah.
Emak memang tidak mewariskan harta
kepada anak-anaknya. Emak hanya mewariskan ilmu, sebab katanya ilmu tidak akan
pernah ada habisnya. Terlepas dari emak yang darasan alqur’annya masih
terbata-bata, beliau mengusahakan untuk anaknya lebih dari emak. Beliau selalu
mengatakan, siapa lagi yang akan mengajikannya nanti jika sudah sampai pada
jemputan izroil.
Pernah di suatu waktu, saya sudah
SMA dan emak sudah berhenti menjadi karyawan gudang ikan. Emak tidak boleh
bekerja terlalu jauh dari rumah oleh bapak, katanya biar bapak saja yang
bekerja. Toh sekarang bapak sudah mendapatkan pekerjaan tetap dan lebih baik
dari sebelumnya. Bapak sudah menjadi security
disebuah gudang barang milik salah satu PT di PLTU. Gajinya sudah bisa
mencukupi kebutuhan keluarga kecil kami. Nahas, bapak telah jatuh di dada
perempuan flamboyan. Emak tidak serta merta menjustice cinta bapak berpaling.
Emak masih mempercayai cinta bapak yang tulus sejak dari mereka menjadi
sepasang kekasih semudanya dulu.
Lagi-lagi feelling seorang perempuan
sangatlah kuat. Walau terkadang banyak lelaki yang mengelak dari fakta yang
ada. Bapak jarang memberi Emak uang belanja. Sering marah tidak jelas dan
menghilang begitu saja. Tapi emak tetap saja berusaha tampil baik-baik saja dan
seakan tidak terjadi apa-apa. Emak tetap memperlakukan bapak dengan hangat,
mengantarkan bekalnya sampai di depan pintu gerbang rumah hingga bapak
berangkat ke tempat kerjanya. Memastikan bapak keluar rumah dengan baik dan
sehat. Sebagai anak satu-satunya yang belum selesai di dunia pendidikan, saya
merasa kasihan pada emak. Seberapa dalam luka yang ditanggungnya sendiri. Saya ingin
memutus sekolah waktu itu, tapi emak kekeh untuk saya terus melanjutkan walau
sikap bapak sudah berubah. Kata emak, kita butuh tenang dan sabar. Tidak boleh
menyerah pada keadaan, bagaimanapun kondisinya.
Kehidupan keluarga kami semakin hari
semakin tidak baik-baik saja, walau emak tidak menceritakan semuanya. Tapi saya
tahu, usia saya sudah memasuki remaja waktu itu, bukan anak kecil lagi. Saya
pun tidak tahu bagaimana cara menghibur emak yang terlihat murung beberapa hari
itu. Saya tidak tahu bagaimana cara mengembalikan senyuman emak yang tulus.
Kembali lagi pada doa-doa emak yang tersembunyi, saya membawa kabar baik untuk
diberangkatkan ke ibu kota sebagai perwakilan dari provinsi. Mengikuti kemah
nasional selama empat hari di Cibubur. Perjalanan pulang dan pergi memakan
waktu seminggu yang membuat emak menggelar puasa untuk keselamatan anaknya.
Pulang dari itu, saya juga mewakili kabupaten untuk menerima piala penghargaan
dari gubernur berkat lomba pidato genre tingkat provinsi. Saya membawa emak ke
panggung megah. Emak tidak banyak bicara, beliau hanya tersenyum dan menangis.
Betapa saya senang dan terharu melihat emak kembali lagi tersenyum. Itu adalah
perjalanan terpanjang saya dengan emak. Pasca dari itu, kami tidak pernah pergi
keluar kota bersama.
Tidak cukup dari itu, tepat ditahun
2017 lalu. Nama saya masuk dalam daftar mahasiswa Sastra Indonesia di
universitas yang selama ini emak harapakan untuk putrinya. Saya lolos dengan
jalur SNMPTN-Bidikmisi. Keajaiban itu datang kembali untuk membayar air mata
emak yang pernah jatuh dibalik pintu dapur.
______________
*) Sitti Rohmah,
lahir di tanah Situbondo, 17 Juli 1999. Dapat ditemui di Fakultas Ilmu Budaya
Unej. Mahasiswa yang berusaha menyelesaikan studi S1-nya. Berani bertaruh, dan
suka memilin air mata saat hujan bersila. Dapat ngobrol dengannya di kios kopi
angkringan kecil pinggir jalan atau kalau malu, bisa chatt di via WA:
082232113662, atau kalau tambah malu lagi, sila gmail: sittirohmah17@gmail.com.
Salam Literasi!
Ilustrator
@iinkmuzaiyaroh,
pendidik paud, ilustrator cakanca.id
0 Komentar