Seluruh santri diarahkan
menuju aula pesantren Al-Karim. Keramaian mulai terdengar. Santri-santri sibuk
untuk mencari tempat duduk yang sekirannya pas untuk mereka. Beberapa menit
kemudian, santri putra
maupun putri
sudah dikatakan rapi dari barisan masing-masing.
Acara sudah dimulai, dibuka
langsung oleh pimpinan acara. Santri putra maupun putri mulai menyimak rentetan acara kegiatan. Ketika sang pimpinan
acara mulai membacakan acara yang kelima, pemberian penghargaan terhadap pemenang lomba baca kitab Fathul Ghorib.
“Pemenang lomba baca Kitab Fathul
Ghorib, diraih oleh ananda Eliana. Dimohon kepada ananda Eliana untuk menaiki panggung kehormatan.”
Beberapa menit kemudian,
ketika yang bernama Eliana manaiki panggung kehormatan, seketika aku terdiam,
tercengang melihat kejadian ini semua. Sekujur tubuh menjadi saksi terhadap
ciptaan Tuhan yang tiada ruginya. Dengan paras eloknya, santri putri yang bisa dikatakan tidak ada
tandingannya. Apalagi ukiran senyuman bibirnya yang akan membuat mata terhipnotis ketika santri putra melihatnya.
“Mashaallah.” Batinku.
“Hey, kamu ini kenapa melihatnya kok sampai seperti itu?” Tanya Dimas, teman sekelas sekaligus sebangku.
“Tidak apa-apa, hanya saja
santri putri
itu terlihat cantik.” Kataku, padanya.
“Oh... Kalau santri putri itu memang dikatakan cantik dari dulu,
sampai saja dirumahnya dijuluki sebagai kembang desa.” Jawabnya
Dimas. Teman sebangkuku waktu semasa Sekolah Dasar (SD).
Yang membuat aku gagal fokus
di kegiatan acara ini, ialah dengan kehadiran seuntai senyuman yang terurai
indah dalam wajah pesonannya. Seakan menyimpan kemanisan yang tiada tara. Pasti
siapa saja yang melihatnya akan terpesona, akan wajah dan senyumannya.
Lebih-lebih aku ini.
-----(:*;)-----
Keesokan sore harinya.
Perasaan mengajakku mengunjungi sebuah taman Pesantren Al-Karim. Lokasinya tidak terlalu jauh dengan asramaku
ini. Langkah demi langkah, masih tersirat bekas senyuman dalam daya ingatku.
Membuat diriku ini selalu berandai-andai bersanding dengannya, padahal tidak. “Arghhhh.” Emosiku sambil memeras tanganku yang sedikit basah ini.
“Kenapa kamu, Mad?”
Tiba-tiba ada yang bertanya
padaku dari arah belakang.
“Oh, kamu, Dim. Nggak, aku tidak apa-apa. Hanya saja ini tentang perasaanku, tidak
lebih.”
“Cobalah istighfar, ingatlah kepada Tuhanmu, Allah. Inshaallah jalanmu akan dipermudah.” Usulnya.
“Baiklah, terimah kasih atas
usulannya.” Kataku, sambil membuang nafas perlahan sambil lalu istighfar ingat kepada Allah.
“Kalau kamu terbuka,
bicaralah padaku, siapa tau aku ini mempunyai masukan tentang perasaanmu itu.”
“Benaran, Dim?”
Tanyaku, belum pasti.
“Terserah kamu.”
-----(:*;)-----
Di bawah pohon yang telihat
rindang. Dengan suasana yang tak kalah menawan dengan Negara Jepang. Terdapat burung-burung yang berlabuh di setiap rerantingan. Saling melantunkan
kicauan sesama lain. Aku dan Dimas duduk di bangku panjang bawah pohon rindang itu.
“Apakah semua ini gara-gara
santri putri
yang tadi malam itu, Mad?”
Tanya Dimas.
“Iya, jujur ketika aku
melihat wanita itu tadi malam, entah mengapa aku merasa nyaman melihatnya dan
langsung sesuai dengan suara hatiku ini, Dim, padahal kenal saja belum. Dan semua ini
pastinya gara-gara senyuman itu yang membuat aku ini suka dan nyaman padanya
walaupun tidak kenal.” Jawabku.
“Ini bukan cuman gara-gara
senyuman santri putri
itu, melainkan ini juga gara-gara hatimu.”
“Maksudnya?” Belum jelas atas kata-kata Dimas.
“Hati kamu itu yang membuat
kamu kepikiran dengannya. Seakan hidup kamu itu tidak terlalu lengkap karena
tidak ada kepastian. Cobalah kamu mampir ke rumahnya. Bicaralah baik-baik dengan keluargannya. Apalagi
kamu ini sudah terlihat waktunya untuk menikah.” Katannya padaku.
“Apakah itu menurut kamu
menjadi keputusan yang terbaik untukku?”
“Ku kira seperti itu.” Pastinya.
“Baiklah, kalau itu memang
keputusan yang baik untukku. Nanti ketika pulang aku akan mendatangi rumahnya.” Aku jawab penuh rasa percaya diri.
“Emang kamu itu sudah kenal?
Tahu ke rumahnya?”
“Belum.” Pasrahku.
“Gimana kamu, Mad, kukira kamu ini sudah saling mengenal.”
“Terus gimana ini aku, Dim?” Tanyaku pada Dimas dengan keadaan kebingungan.
“Percayalah, nanti takdir
Tuhan akan mempertemukan kamu pada waktunya untuk saling mengenal.” Pastinya.
“Semoga saja.” Kataku, dengan wajah pasrah.
-----(:*;)-----
Pagi hari yang terlihat indah
menawan tiada tara. Dengan pesona alam memancarkan keasriannya yang terlihat memukau siapa saja yang akan melihatnya, terbitan matahari yang akan memulai kehidupannya. Kini,
aku sengaja untuk melangkahkan kaki menuju tempat perkuliahanku. Sebut saja Universitas Bahari, dengan
tujuan untuk melihat hasil ujian skripsiku kepada bapak H. Maswas S.Sos. Di
tengah lorong menuju ruang bapak Maswan, aku melihat seseorang yang tidak ada
asingnya bagi diriku. Dengan rasa penasaran diolesi dengan keberanian, aku
langsung menuju dan menghampiri orang itu. Hatiku dari tadi sudah mulai
berserabutan tak terkendali. Seakan suami yang akan melakukan cumbuan ria pada
istri di hari pertamannya. Dan aku terus mendekatinya. Kebetulan orang itu menghadap ke pintu
sedangkan aku berada di belakangnya.
“Assalamualaikum.” Salamku padanya, dengan keadaan sedikit canggung.
“Waalaikumsalam,” Jawabnya. Dengan mata menatapku.
“Mbak ini cari siapa?” Awalanku padanya.
“Oh... ini aku lagi cari pembimbing skripsiku,
emangnya kenapa?” Katanya, sambil memalingkan wajahnya.
“Ndak apa-apa. Hanya menanyakan.”
“Oh... iya makasih.” Langsung berputar balik seperti semula.
Menghadap pintu ruang pembimbing skripsinya.
“Ngomong-ngomong nama mbak
ini siapa?” Dengan
masih tetap keadaan canggung untuk menanyakan namannya.
“Nama saya Eliana. Alamat
jalan aman, Kabupaten
Banyuwangi” Jawabnya.
Dengan keadaan membelakangiku.
“Mohon maaf sebelumnya, Mbak”
“Kenapa?” Jawabnya.
“Mbak ini cantik. Aku sampai
kagum dengan kecantikan mbak ini. Apalagi di waktu mbak ini menaiki panggung
kehormatan untuk mengambil hadiah. Dengan menampilkan wajah eloknya dan dihiasi
dengan ukiran manis senyumannya. Seakan aku ini kagum kepada mbak, bahkan suka.” Cukup bergetar aku mengucapkan kalimat pujian kepada orang yang
namannya Eliana.
Seketika Eliana berputar
balik dan menghadap kepada diriku walau jaraknya tidak terlalu dekat. Lagi-lagi
senyuman itu terurai kembali dalam wajahnya. Yah, hatiku makin membara
kepadanya.
“Makasih atas pujiannya kamu.
Ngomong-ngomong kamu ini memujiku atau malahan kamu ini suka padaku?”
Deg, bagaikan aku ini akan tertimpa batu besar. Yang
akan menghabiskan nyawaku secepat mungkin.
“Mbak kok menanyakan seperti itu?” Tanyaku.
“Karena itu hal yang mungkin buatku, tadi kan kamu ini memujiku. Kemungkinan kamu ini ada
maksud lain padaku ini” Katanya.
“Dua-duanya” Jawabku padanya. Walau sedikit ada rasa malu.
“Kalau begitu, datangi
rumahku dan minta aku kepada keluargaku di rumah. Karena aku tidak ingin lelaki yang suka padaku untuk berpacaran.
Lebih baik aku tunggu kamu di rumahku. Kalau kamu ini benaran suka padaku.
Lagian pula aku ini sudah sedikit tau tentang kamu. Kalau begitu aku pamit
dulu. Assalamualaikum.” Katanya
“Waalaikumsalam.” Balasku.
Deg, lagi-lagi aku ini tertimpa batu yang sangat
lebih besar dari batu
pertama. Dahsyat sekali aku mendengarnya. Akan tetapi, ini merupakan kesempatan
bagiku untuk membuktikan cintaku yang sangat tulus padanya.
-----(:*;)-----
Dua hari setelah santri
Al-Karim telah diarahkan pulang ke rumah atau
bisa disebut dengan imtihan bagi seluruh santri Al-Karim. Saat ini aku sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Eliana. Dan aku ini sudah kenal lebih dekat dari pada sebelumnya, dan tau di mana rumah Eliana dan keluarganya. Selain itu tujuannya tidak lain adalah untuk meminta
kepastian kepadannya dan juga kedua orang tuanya.
“Bu, aku pamit dulu bu. Assalamualaikum.” Pamit kepada orang tua dengan tata cara bersalaman.
“Waalaikumsalam.” Balas ibuku yang paruh baya itu. Yang tengah duduk di kursi
biasannya.
Di tengah perjalanan. Dengan penuh rasa bahagia setelah ini aku akan bertemu dengannya. Melihat
kembali wajah elok dan senyumannya yang tidak akan membosankan ketika aku
melihatnya. Dan yang membuat aku bimbang, ialah akan bertemu dengan orang tuanya. Pastinya aku
akan merasa canggung ketika berbicara dengan kedua orang tuannya. Tapi kesempatan ini jangan
diputar-balikkan.
Karena pepatah bilang kesempatan tidak akan terulang kedua kali.
-----(:*;)-----
Sepuluh menit kemudian aku
sudah sampai kerumahnya. Menurutku rumah Eliana dan orang tuanya terlihat sederhana tapi rapi tata letaknya. Dan menyimpan perhiasan yang tiada bandingnya. Siapa lagi kalau
bukan Eliana.
“Assalamualaikum.” Sambil ketok pintu rumah Eliana. Sampai dua kali pintu rumah Eliana
terbuka.
“Waalaikumsalam.”
Sudah aku sangka, yang jawab
pasti yang aku cari. Sosok perempuan perawan dengan keharuman dan keindahan
wajahnya. Yang memiliki kelebihan senyuman seperti halnya bidadari.
“Masuk, Mas Ahmad. Aku sudah siapkan di dalam rumahku
untuk Mas
Ahmad” Katanya
padaku. Dengan wajah khasnya yang indah.
“Baiklah kalau begitu. Aku
akan masuk tapi kamu duluan Eliana. Soalnya aku tidak pernah memasuki rumahmu
ini.” Balasku padanya. Lalu aku dan Eliana duduk di sofa dengan jarak yang
sedikit jauh.
“Mas ini sudah lama menunggu
di luar?”
“Tidak terlalu lama, hanya
sebentar menunggu dan langsung dibuka pintu oleh manusia yang manis senyumannya.”
Lagi-lagi Eliana tersenyum
padaku. Dengan senyuman tanpa pamrih sedikit pun.
“Ngomong-ngmong siapa namanya?”
Tanya Eliana dan saling menatap wajah.
“Kalau tidak salah namanya
itu Eliana.”
“Ohhh…” Cueknya
padaku. Tapi cueknya itu menandakan kebahagiaan padanya.
“Loh. Ini siapa nak?” Ibu Eliana yang paruh baya itu keluar dari bilik
kamarnya.
“Ini yang kuceritakan pada ibu waktu itu, namanya Ahmad”
“Perkenalkan namaku Ahmad.
Putra dari bapak Asy’ari” Aku sedikit tidak nyaman pada orang tua Eliana.
“Asy’ari?” Sambil mengericitkan dahinya.
“Ngih bu, aku di sini untuk meminta kepastian kepada ibu dan
Eliana. Bahwa aku akan melamar putri ibu, Eliana.” Balasku ramah. Tapi sedikit canggung membicarakan lamaran ini.
Ibu Eliana tersenyum padaku.
Sambil lalu duduk di sofa dekat Eliana.
“Aku dan bapakmu itu sudah
memiliki rencana untuk menikahkanmu dengan putriku, Eliana.”
Aku dan Eliana saling
menatap. Tidak percaya kejadian semua ini.
“Akan tetapi kamu dan Eliana
ini akan di nikahkan ketika menyelesaikan program Sarjana.”
Hal itu tidak menjadi masalah
untukku. Yang penting ibu Eliana ini sudah menerimaku untuk menjadi pendamping
putrinya, Eliana.
Akhirnya, Eliana tersenyum
seperti aku melihat senyuman pertamannya. Dan aku juga tersenyum bahwa kita
akan menjalani kehidupan bersama.
_TAMAT_
------------------------------------------------
0 Komentar