Lakuna


Oleh : Lakuna*

Menyambung dari kisah seseorang, hubungan toxic itu tak melulu soal dan dari pasangan. Ada kalanya tanpa kita sadari telah terlibat hubungan toxic bahkan sejak di dalam kandungan. Penelitian mengatakan bahwa kondisi kesehatan mental seorang ibu akan berpengaruh pada kesehatan kejiwaan sang janin yang dikandungnya. Saat ibu depresi, maka janin juga akan mengalami hal yang sama. Itulah sebab mengapa lingkungan yang baik dan mendukung sangat dibutuhkan bahkan sejak kita masih seukuran air mani.

Sebagai orang yang tidak benar-benar bisa mengungkapkan apa yang diinginkan, saya juga memiliki kisah terlibat hubungan toxic dengan lingkungan. Selayaknya tradisi, perjodohan dini masih dilegalkan dan merupakan hukum adat. Sejak saya baru berusia beberapa hari, sudah ada yang datang untuk melamar saya. Keluarga besar saya setuju, tetapi untung saja orang tua saya tidak menerimanya. Saya bersyukur akan hal itu sehingga masa bayi saya, setidaknya, terselamatkan.

Berlanjut ke usia kanak-kanak, tak jarang saya mendapati orang bermuka dua baik terhadap saya atau pun keluarga. Didepan orang tua saya mereka bermuka manis dan memuji betapa pintarnya saya karena sering memenangkan kejuaraan dan peringkat teratas di kelas. Akan tetapi saat di belakang, mereka selalu bergosip bahkan memfitnah bila keluarga saya melakukan tindakan suap kepada guru di sekolah. Hal itu merembet ke anak-anak mereka, yang mana adalah teman saya di sekolah. Tatapan ketidaksukaan yang dilayangkan benar-benar menusuk dan membuat saya lelah.

Ada keinginan untuk bisa bermain bersama mereka, hanya saja saya adalah opsi terakhir. Mereka bahkan membuat circle sendiri dan tidak mengikutsertakan saya di dalamnya. Tapi saya tetap merasa senang, karena mereka datang kepada saya di saat ada yang tidak mereka pahami soal pelajaran. Setidaknya, ada satu titik saya merasa sangat bersyukur bahwa entitas saya bisa berguna juga.

Terlalu sering menyendiri di perpustakaan, saya kerap kali dipanggil “penunggu perpus” oleh sebagian teman. Bukan tanpa alasan, saya yang tidak pandai bergaul dan lelah dengan tatapan tidak suka dari orang-orang membuat saya sadar bahwa tempat teraman dan nyaman adalah perpustakaan. Berteman dengan karakter fiksi dan hidup di dunia fantasi benar-benar membuat hidup saya sangat bahagia. Selain itu, karena sering bolos kelas untuk latihan menggambar di perpustakaan membuat saya dipercaya juga oleh guru penjaga untuk menuliskan data peminjaman buku di sana. Dan sekali lagi hal itu membuat saya dijauhi bahkan dianggap cari perhatian oleh teman yang lain sekali pun saya membawa nama baik sekolah, hanya ejekan dan sorakan yang saya terima.

Sejujurnya saya tidak terlalu ambil pusing. Kami hanya anak-anak yang polos, lugu, dan bisa dimanipulasi kapan saja. Saya sadar dan tidak menaruh dendam pada mereka, walau jujur saja itu menyakitkan juga.

Tiba di titik rasa sabar saya habis karena ucapan sosok yang saya anggap sahabat. Saya menyesali kebodohan saya saat itu yang mau saja diperbudak untuk belanja, dicontek, bahkan bolos kelas hanya untuk bias diterima sebagai ‘teman’ olehnya. Selayaknya melempar roti dibalas batu, dia menghina saya secara terang-terangan di depan semua orang. Tepat pagi hari setelah bel berdering dan sebelum doa belajar dibacakan, dengan drama tangisnya ia bersuara lantang. “hei jalang! Beraninya kau mengataiku jalang ke semua orang! Padahal yang jalang itu kamu! Dasar anak dan keluarganya sama-sama gak punya malu!”. Setidaknya seperti itu yang tersisa dalam ingatan saya.

Saat itu, saat saya membalas ucapannya dengan lirih bahwa saya tidak melakukan apapun yang ia katakan, saya tersadar. Mata setiap orang yang ada di kelas menaruh benci dan dendam terhadap saya. Tak ada satu pun rasa hangat di sana. Bahkan saat saya menoleh pada teman sebangku, dia hanya melirik tajam dan bergumam, “seharusnya kamu tidak pernah di sini! Seharusnya kamu mati saja!”. Saya terduduk lemas dan menunduk. Apa salah saya? Apa salah keluarga saya? Kenapa sebegitu rendahnya diri saya di mata mereka? Saya berusaha menahan tangisan karena guru sudah masuk kelas. Bahkan saat pelajaran dimulai, saat guru memberi nilai sempurna pada saya, masih saja mereka protes. “Kan dia anak kesayangan semua guru, pantas saja dapat nilai seratus padahal kan banyak yang gak sesuai di buku.” Masih mempertahankan harga diri, saya maju dan bertanya langsung pada guru bersangkutan, tapi memang tidak ada yang salah. Saya belajar tidak hanya melalui satu buku saja, ada banyak referensi yang saya masukkan.

Dari sanalah jiwa kedua saya terbangun. Iya, katakanlah ia adalah rasa lelah dan kesepian yang selama ini saya pendam. Sebut saja entitas itu bernama “Cikha”. Pada mulanya dan memang sebenarnya dia hanyalah makhluk imajinasi “tulpa” yang lahir dari alam bawah sadar saya. Dia adalah saya versi sempurna dan diharapkan oleh semua orang. Banyak hal yang saya tiru dari dia hanya demi bisa menuruti harapan setiap orang, bahkan orang tua saya. Tak ada yang tahu, jiwa saya yang sebenarnya terpenjara di dalam sana.

Penafsiran soal ‘teman’ berkonotasi negative di pikiran saya. Sampai SMP sekali pun saya tidak percaya akan adanya teman. Yang ada hanyalah simbiosis mutualisme atau komensalisme antar manusia satu dengan yang lain. Tidak ada yang namanya teman di dunia ini.

Saya bersyukur sekali bisa bertemu dua sahabat saya yang perlahan mengembalikan kepercayaan bahwa teman itu ada. Hingga rasanya saya rela menukarkan apapun asal  saya tidak kehilangan mereka. Karena saya tahu, mereka akan melakukan hal serupa. Tapi ujian belum berhenti selama saya masih hidup di dunia.

Saya akhirnya tiba di titik “ingin hijrah”. Ya, saya memutuskan untuk menyelami agama lebih dalam dan konsisten menutup aurat. Tentunya ini didukung oleh teman dan orang tua, walau keluarga saya sedikit keberatan. Di masa hijrah ini, kondisi saya tidak membaik. Hal lebih berat menimpa dan saya tidak bisa meminta tolong pada satu pun manusia. Saat bagian tubuh yang tak seharusnya ditatap, malah terjamah berkian kalinya oleh tangan kotor keluarga sendiri. Apa yang dijaga hilang dalam sekejap. Ingin rasanya teriak meminta pertolongan. Pada orang tua, pada keluarga, pada sahabat. Tapi mulut hanya bisa bungkam.

Saya menghina diri sendiri. Sering memaki diri sendiri yang tidak bisa menjaga mahkota berharga. Iya, sudah kotor seperti lumpur selokan. Bahkan lebih hina lagi dari lumpur hitam tinja pembuangan. Hal yang sama terus terjadi hingga saya SMA, bahkan sesekali terjadi saat saya telah duduk di bangku kuliah.

Saya tahu itu pelecehan dan sayalah korban. Tapi sekalipun pelaku minta maaf yang sayangnya tidak dilakukannya-tetap tidak bisa mengobati semua ini. Karena kejadian itu, ‘teman’ saya bertambah dua. Dan hampir setiap hari saya melihat mereka bertiga mengelilingi saya dengan membuat candaan lucu, berusaha menghibur. Perlu digaris bawahi, mental saya sangat tidak aman saat ini. Karena sadar tidak lagi suci, muncul kebiasaan selalu menutup diri dari lingkungan, bahkan pakaian pun ikut tertutup. Semakin saya mencoba bertobat dan belajar agama lebih dalam, rasa bersalah dan trauma malah semakin keras menampar. Rasanya tubuh ini sudah dipenuhi bekas telapak tangan orang lain. Rasanya saya sudah tak pantas untuk siapapun. Di titik ini lah saya merasa sangat tidak berguna sebagai anak, perempuan, atau pun manusia.

Saya masih bisa mempertahankan kewarasan hingga masuk SMA. Akan tetapi, sekali lagi keluarga menghancurkan satu-satunya pondasi mental saya. Mereka merebut impian terakhir saya. Hanya impian inilah yang mampu membuat saya bangkit lagi meski terpuruk bertahun lamanya. Tapi saat itu, ia turut hancur juga.

Saya tak lagi punya arah. Satu-satunya yang ada di kepala saya hanyalah keinginan untuk mengakhiri semua ini. Pikiran yang gelap dan hati perlahan kosong. Saya mulai melakukan tindakan self harm dengan berusaha mengiris tangan sendiri menggunakan silet di kos. Entah kenapa saat silet itu berhasil membuat garis, saya kehilangan kesadaran. Saat tersadar, saya sudah berpindah lokasi, dari yang semula di pinggir kasur hingga ada di dalam lemari pakaian. Sampai saat ini saya tidak mengerti apa yang saya alami malam itu.

Menyadari tindakan ini bodoh, walau tak memiliki semangat hidup sekalipun, saya tetap melakukan aktivitas seperti belajar di sekolah dan lainnya. Saya memutuskan untuk lebih lama tinggal di sekolah dan mendengar suara orang-orang. Karena hanya pada saat itu, pikiran gelap untuk mengakhiri hidup tidak muncul. Saya pergi lebih awal dan pulang lebih malam dari siswa lain. Walau saat di kos saya berusaha mati-matian mempertahankan kewarasan saya, yang setiap melihat silet ataupun benda tajam lain langsung tersenyum ingin menorehkannya di bagian tubuh saya.

Satu sisi saya berterimakasih dan bersyukur pada komunitas yang saat itu menaungi saya. Cakanca.id dan rumah sastra. Melalui mereka saya tersadar ada cara mengalihkan pikiran gelap saat sendiri. Iya, menjadi wibu merupakan keuntungan bagi saya. Di waktu gelap itu, saya memutuskan untuk menonton anime dan beruntungnya pikiran gelap itu tidak muncul. Hal itu terus saya lakukan setiap hari hingga teman-teman saya menyebut saya seorang “otaku”.

Saya berusaha membangun impian lagi walau tidak sekuat impian saya sebelumnya. Setidaknya, itu cara kabur paling elegan yang pernah saya lakukan. Kabur dari rumah dengan dalih mengenyam pendidikan. Tak ada rasa bahagia saat saya diterima masuk salah satu universitas seni bergengsi di Yogyakarta. Hanya ada rasa sedikit lega, setidaknya saya bisa pergi dari rumah, tapi tidak mungkin saya menyebutnya rumah lagi.

Beberapa tahun mengenyam pendidikan, saya mengenal seseorang yang entah kenapa membuat saya berani untuk mengambil langkah maju. Dia satu-satunya yang berhasil menarik diri saya yang asli ke permukaan, di saat saya tenggelam dalam laut gelap man kediinginan seorang diri. Laut yang perlahan melahap saya dan mengikat erat tubuh saya. Saat saya berusaha menggapai daratan, saya hampir menyerah karena tak ada satu orang pun yang melihat saya. Tapi dia datang dan langsung menarik tangan saya, meski ikut basah oleh lautan yang hitam, ia tetap tersenyum dan berkata semua akan baik-baik saja.

Untuk pertama kalinya saya menemukan tempat untuk pulang. Walaupun keluarga saya berkata bahwa tempat saya berpulang bukanlah rumah, tapi nyatanya rasa aman ada saat bersamanya. Hanya padanya saya bisa mengungkap semua hal menyakitkan dan menangis untuk pertama kalinya. Hal ini membuat keluarga saya tak terima dan menganggap bahwa itulah resiko karena saya tidak mengatakan apa apa pada mereka. Seandainya, saya mengatakannya pada mereka, pasti langsung melakukan tindakan tanpa harus sampai mencederai mental saya. Tapi mereka tidak sadar, bahkan setelah saya mengungkapkan masalah ini pada keluarga, tak ada tindakan yang mereka lakukan pada pelaku. Pelaku hanya meminta maaf satu kali setelah itu tak ada lagi. Itu semua tidak sepadan dengan yang ia lakukan bertahun lamanya dan masih menyalahkan saya sebagai anak yang tak menganggap rumah sebagai tempat untuk pulang kembali?

 

_________________________________

*) Penulis yang sedang ingin berbagi Cerita hidupnya