PENANGKAPAN MR. JADHAV DI PAKISTAN

   *Oleh: Kapten_Ran

Photo by eurasiantimes

            Penangkapan Tuan Jadhav masih menjadi kontroversi karena perbedaan klaim antara Republik India [“India”] dan Pakistan.[1] Klaim dari Pakistan, penangkapan Tuan Jadhav di Provinsi Balochistan karena tindakan spionase dan terorisme atas nama India sementara India mengklaim Tuan Jadhav ditangkap di Republik Islam Iran [“Iran’} lalu dibawa ke Pakistan. Bagaimanapun cara penangkapan yang dilakukan oleh Pakistan, negara tersebut telah gagal untuk menerapkan aturan dari Vienna Convention on Consular Relations [“Vienna Convention”] sejak proses penangkapan, penahanan, dan pengadilan Tuan Jadhav.[2] Penangkapan Tuan Jadhav tidak beritahukan sesegera mungkin setelah penangkapannya pada petugas konsuler India di Pakistan.

            Pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dilakukan Pakistan berdasarkan Vienna Convention tidak melepaskan tanggungjawabnya untuk menghormati UDHR. UDHR mengharuskan setiap negara untuk menghormati hak-hak fundamental manusia. Tujuannya agar negara menjadi promotor utama yang melindungi hak-hak fundamental manusia. India mengklaim bahwa Tuan Jadhav diculik oleh Pakistan dari Iran lalu dibawa ke Pakistan oleh militer Pakistan.[3] Ditinjau dari perspektif India, penangkapan Tuan Jadhav dilakukan secara ilegal karena ia kehilangan kebebasannya  sebagai Individu secara tidak sah.[4].

            Penangkapan Tuan Jadhav tidak sah berdasarkan prinsip ex injuria non oritur actio. Maka Tuan Jadhav tidak dapat diproses lebih lanjut sebab perbuatan yang melawan hukum tidak dapat menimbulkan akibat hukum.[5] Tuan Jadhav harusnya tidak diproses lebih lanjut karena penangkapannya tidak sah secara hukum. Sebagai bentuk pertanggungjawaban dari Pakistan atas pelanggarannya terhadap ketentuan UDHR dan Vienna Convention. Negara tersebut harus memberikan kompensasi pada Tuan Jadhav karena berusaha menghilangkan hak-hak fundamentalnya pada saat penangkapannya yang kontroversial.

            25 Maret 2016 hingga 9 Oktober 2017 Komisi Tinggi India di Islamabad mengirimkan lebih dari sepuluh nota verbal kepada Kementerian Luar Negeri Pakistan untuk mendapatkan akses konsulernya pada Tuan Jadhav.[6] 21 Maret 2017 Pakistan mengirimkan jawaban atas nota verbal India, Pakistan akan memikirkan ulang tentang kemauan India untuk menemui Tuan Jadhav karena penolakan India untuk bekerja sama dalam penyelidikan Tuan Jadhav.[7] Pakistan telah bertindak secara sewenang-wenang dalam penahanan Tuan Jadhav.[8] Tuan Jadhav mengalami diskriminasi dalam proses penahanan yang dilakukan oleh Pakistan.[9] Tuan Jadhav tidak mendapatkan pemberitahuan apapun dari Pakistan terkait hak-hak yang dimilikinya selama berada dibawah penahanan Pakistan. Diskriminasi ini telah melanggar pasal 7 UDHR.

            Pakistan tidak memberikan perlindungan hukum pada Tuan Jadhav dalam proses penahanannya. Pakistan memanfaatkan Tuan Jadhav utuk mendapatkan informasi khusus yang diketahuinya melalui interogasi oleh anggota militernya.[10] Diskriminasi yang dilakukan oleh Pakistan telah menempatkan Tuan Jadhav sebagai pihak yang bersalah sebelum putusan pengadilan. Prinsip presumption of innocence diakui di berbagai negara dan penerapannya sangat diperlukan untuk memastikan seseorang tidak dirampas haknya sebelum jatuhnya putusan pengadilan.[11] Pelanggaran terhadap prinsip presumption of innocence terjadi ketika Pakistan secara sengaja menghalangi komunikasi antara petugas Konsuler India yang ada di Pakistan dengan Tuan Jadhav.

    Penahanan Tuan Jadhav yang tidak sesuai dengan prosedur telah mengakibatkan kerugian secara fisik dan psikis bagi Tuan Jadhav. Kerugian fisik yang ia terima adalah adanya kemungkinan dirinya dihukum mati mengingat Pakistan merupakan salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati. Kerugian psikis yang dialami Tuan Jadhav mungkin terjadi selama masa interogasi oleh militer Pakistan untuk mendapatkan keterangan darinya. Disamping itu Pakistan telah membuat Petugas Konsuler India di Pakistan tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik karena pembatasan yang sengaja dilakukan oleh Pakistan.

    India tidak menerima detail penjatuhan hukuman mati Tuan Jadhav, banding, atau dokumen apapun terkait pengadilan Tuan Jadhav.[12] India hanya bisa mengakses putusan terkait kasus Tuan Jadhav di situs yang sudah disediakan. Putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Militer Pakistan memutuskan bahwa Tuan Jadhav akan dihukum mati.[13] Hukuman mati terhadap Tuan Jadhav telah melanggar ketentuan UDHR.[14] Kehidupan yang dimiliki oleh seseorang tidak bisa diambil dalam kondisi apapun sesuai UDHR karena kehidupan itu sendiri melekat pada manusia.

   Pakistan seharusnya tidak menjatuhkan hukuman mati terhadap warga negara lain tanpa melibatkan negara tersebut. Hukuman mati bagi Tuan Jadhav seharusnya tidak dijatuhkan. Pasal 3 UDHR berbunyi “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.”. Maka Pakistan tidak dibenarkan dalam menggunakan hukuman mati pada Tuan Jadhav. Selain melanggar ketentuan dalam UDHR, prinsip ex injuria non oritur actio bisa diterapkan dalam putusan tersebut. Akibatnya putusan dari Pengadilan Militer Pakistan dapat dibatalkan demi hukum karena melanggar prinsip umum yang sudah diterapkan antar negara.

    UDHR menegaskan bahwa suatu proses peradilan harus adil dan tidak memihak.[15] Dalam proses peradilan Tuan Jadhav, tampaknya pengadilan Militer Pakistan memihak pada negaranya sendiri. Pengadilan tidak meminta keterlibatan India secara aktif di kasus tersebut. Padahal harusnya India juga ikut serta terlibat secara aktif karena Tuan Jadhav mendapatkan hukuman mati atas nama India. Keberadaannya di Pakistan di klaim oleh negara tersebut karena India yang memasukkannya. Namun India tidak diberikan kesempatan dalam memverifikasi pernyataan dari Tuan Jadhav dan kesimpulan yang diambil oleh Pakistan. India dirugikan atas adanya pengadilan ini karena nama baik negaranya tercemar dan warga negaranya dihukum tanpa diberikan haknya.
    
      ICJ bertugas menyelesaikan sengketa atau kasus yang berada di ruang lingkup Internasional dan memberikan opini terhadap negara atau badan internasional yang memintanya. Pasal 39 - 64 Statuta Mahkamah Internasional mengatur mengenai prosedur penyelesaian sengketa atau kasus di ICJ, sementara Pasal 65 - 68 Statuta Mahkamah Internasional mengatur prosedur pemberian  opini ICJ terhadap negara atau badan internasional yang meminta. Setiap putusan atau opini yang dikeluarkan oleh ICJ akan ditampilkan pada situs web resmi mereka yang bisa diakses oleh semua orang.

     Pasal 36 ayat (1) huruf (a) dan (c) Konvensi Wina mengatur tentang komunikasi antara warga negara pengirim dan konsuler negara pengirim.  Berdasarkan pasal diatas, Pakistan harus menyediakan akses antara petugas konsuler India kepada Tuan Jadhav atau sebaliknya, namun pada faktanya Pakistan menolak permintaan akses tersebut. ICJ dalam putusannya memberikan solusi agar Pakistan menghentikan tindakannya yang salah berdasarkan hukum Internasional, memberitahu hak yang dimiliki oleh Tuan Jadhav tanpa adanya penundaan, memperbolehkan petugas konsuler India untuk menemui dan mengatur perwakilan hukum bagi Tuan Jadhav, Menunda eksekusi guna melakukan pertimbangan dan peninjauan ulang yang efektif atas vonis dan hukuman Tuan Jadhav yang diserahkan kembali kepada Pakistan.[16].

    ICJ dalam menangani kasus Tuan Jadhav yang melibatkan Negara India dan Pakistan telah memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang ada di dalam kasus ini melalui putusannya pada tahun 2019. Berdasarkan putusan ini maka Tuan Jadhav yang haknya dilanggar oleh Pakistan diperbolehkan untuk mendapatkan haknya, Pakistan harus mengizinkan India melalui petugas konsulernya yang berkedudukan di Pakistan untuk berkomunikasi dengan Tuan Jadhav, serta melakukan peninjauan ulang kasus Tuan Jadhav dengan melibatkan pihak India. Putusan ini tidak merugikan Pakistan karena proses hukum Pakistan tetap dijalankan namun tidak boleh mencederai ketentuan-ketentuan hukum internasional. India juga tidak dirugikan karena hukum internasional akan dilibatkan dalam penyelesaian kasus Tuan Jadhav.

   UDHR mengharuskan setiap negara untuk menghormati hak-hak fundamental manusia. Tujuannya agar negara menjadi promotor utama yang melindungi hak-hak fundamental manusia. Penangkapan Tuan Jadhav tidak sah berdasarkan prinsip ex injuria non oritur actio. Maka Tuan Jadhav tidak dapat diproses lebih lanjut sebab perbuatan yang melawan hukum tidak dapat menimbulkan akibat hukum. Tuan Jadhav harusnya tidak diproses lebih lanjut karena penangkapannya tidak sah secara hukum.
    
        Pakistan telah bertindak secara sewenang-wenang dalam penahanan Tuan Jadhav. Tuan Jadhav mengalami diskriminasi dalam proses penahanan yang dilakukan oleh Pakistan. Tuan Jadhav tidak mendapatkan pemberitahuan apapun dari Pakistan terkait hak-hak yang dimilikinya selama berada dibawah penahanan Pakistan. Diskriminasi yang dilakukan oleh Pakistan telah menempatkan Tuan Jadhav sebagai pihak yang bersalah sebelum putusan pengadilan.

        Hukuman mati terhadap Tuan Jadhav telah melanggar ketentuan UDHR. Hukuman mati bagi Tuan Jadhav seharusnya tidak dijatuhkan. Pakistan tidak dibenarkan dalam menggunakan hukuman mati pada Tuan Jadhav. Dalam proses peradilan Tuan Jadhav, tampaknya pengadilan Militer Pakistan memihak pada negaranya sendiri. Padahal harusnya India juga ikut serta terlibat secara aktif karena Tuan Jadhav mendapatkan hukuman mati atas nama India. Namun India tidak diberikan kesempatan dalam memverifikasi pernyataan dari Tuan Jadhav dan kesimpulan yang diambil oleh Pakistan.
   
         ICJ dalam putusannya memberikan solusi agar Pakistan menghentikan tindakannya yang salah berdasarkan hukum Internasional, memberitahu hak yang dimiliki oleh Tuan Jadhav tanpa adanya penundaan, memperbolehkan petugas konsuler India untuk menemui dan mengatur perwakilan hukum bagi Tuan Jadhav, Menunda eksekusi guna melakukan pertimbangan dan peninjauan ulang yang efektif atas vonis dan hukuman Tuan Jadhav yang diserahkan kembali kepada Pakistan. Putusan ini tidak merugikan Pakistan karena proses hukum Pakistan tetap dijalankan namun tidak boleh mencederai ketentuan-ketentuan hukum internasional.



[1] Jadhav Case (India v. Pakistan), No. 1173 (International Court of Justice 17 Juli 2019).

[2] United Nations, “Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocols” (1963), art. 36(1)(a)(b)(c).

[3] Jadhav Case (India v. Pakistan) paragraf 21.

[4] United Nations, “Universal Declaration of Human Rights,” 217 A (III) § (1948), art. 3.

[5] Anak Agung Gde Pradantya Adi Wibawa, “Practices  and  Mechanisms  of  Cross-Country  Arrests  Against Criminals,” Jurnal Komunikasi Hukum 7 Nomor 2 (Agustus 2021): 741, https://doi.org/10.23887/jkh.v7i2.38001.

[6] Jadhav Case (India v. Pakistan) paragraf 23.

[7] Jadhav Case (India v. Pakistan) paragraf 28.

[8] United Nations, “Universal Declaration of Human Rights,” 217 A (III) § (1948), para. 9.

[9] United Nations, art. 7.

[10] Jadhav Case (India v. Pakistan) paragraf 24.

[11] “Delegasi MK Indonesia: Prinsip Presumption of Innocence Berlaku Universal, Namun Dapat Dibatasi,” Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 17 September 2019.

[12] Jadhav Case (India v. Pakistan) paragraf 30.

[13] Jadhav Case (India v. Pakistan) paragraf 1.

[14] United Nations, Universal Declaration of Human Rights, art. 3.

[15] United Nations, art. 10.

[16] Jadhav Case (India v. Pakistan) pada 7.